REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi XI DPR RI, Ecky Awal Mucharam menilai kontribusi rakyat kecil dalam membayar pajak sangat besar. Sehingga apabila gugatan atas Undang-undang pengampunan pajak (tax amnesty) dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, tidak akan merugikan negara.
"Kalau tax amnesty gagal, negara tidak bangkrut kok. Sebetulnya secara fiskal kita defisit, tapi tidak bangkrut. Orang-orang ya g bikin bangkrut ya yang tidak punya nasionalisme," ujarnya di Jakarta, Kamis (14/7).
Menurutnya orang yang tidak memiliki nasionalisme adalah pihak-pihak yang memiliki kepentingan untuk dirinya sendiri dengan mengorbankan kepentingan rakyat.
Sedangkan rakyat kecil, memiliki konstribusi besar dalam penerimaan negara melalui pajak. Kontribusi penerimaan negara yang terbesar dari pajak adalah melalui pajak pertambahan nilai (PPN) yang sebesar 10 persen dari harga barang yang dibeli.
Apalagi, kata Ecky, saat ini lebih dari 100 juta orang wajib pajak yang memenuhi kewajibannya. Kemudian, penerimaan pajak yang besar lainnya berasal dari pegawai yang membayar pajak penghasilan (PPh).
"Mereka adalah pelaku pembayar pajak yang paling patuh. Dua komponen inilah yang menjadi tulang punggung dari APBN," kata anggota fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Sedangkan yang memiliki aset di luar negeri dengan jumlah sekitar Rp 11 ribu triliun, hanya 6 ribu orang saja. Menurutnya, sebanyak 6 ribu orang itu sama saja dengan pengemplang pajak, karena tidak patuh terhadap UU perpajakan dengan tidak melaporkan asetnya.
Ecky menilai, UU tax amnesty ini sejak awal dibentuk untuk mengampuni pengemplang pajak. Menurutnya akan lebih baik jika aset di luar negeri tersebut ditelusuri agar pengemplang pajak dapat ditindak.
"Itu harus ditindak. Kalau benar ada aset Rp 11 ribu triliun, dengan menggunakan aturan pajak sekarang mereka dikenakan 30 persen atau Rp 3300 triliun,"tuturnya.
Selain itu, karena para pengemplang pajak tersebut tidak melapor surat pemberitahuan pajak, mereka juga akan terkena denda. Dalam aturannya, kata Ecky, itu juga bisa dikenakan tindak pidana perpajakan dan diharuskan membayar uang tebusan sebanyak empat kali lipat.
"Orang berusaha di Indonesia, bekerja di Indonesia, mencari uang di Indonesia kenapa ditaruh di luar negeri. BLBI ratusan triliun dibawa ke luar negeri kenapa sekarang diampuni?"
Untuk itu, Ecky meminta pemerintah untuk menelusuri pengemplang pajak.
Dengan data itu, ia yakin pemerintah dapat melakukan penegakan terhadap perpajakan. Sehingga pemerintah bisa menjadikan tahun 2016 sebagai tahun penegakan kepatuhan perpajakan.
"Jadi saya mohon pada pemerintah, pemerintah punya data yang bisa dilakukan untuk menarik para pengemplang pajak besar. Adapun dengan tax amnesty ini, mudah-mudahan MK bisa mengabulkan seluruhnya atau sebagian gugatan judicial review,"ujarnya.
Paling tidak, ia meminta dikabulkan gugatan mengenai pembukaan data untuk kepentingan penyidikan, yakni pasal 20 yang dinilai melindungi pidana.