Selasa 12 Jul 2016 18:10 WIB

Pengamat: Pembatasan Transaksi Tunai Persempit Ruang Gerak Korupsi

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Nidia Zuraya
Transaksi non tunai (ILustrasi)
Transaksi non tunai (ILustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti dari Pusat Kajian Anti (Pukat) UGM, Oce Madril menilai pentingnya pembatasan transaksi uang tunai. Hal ini berkaitan untuk menekan angka tindak pidana korupsi.

"Ini salah satu kebijakan untuk mempersempit ruang gerak dari terjadinya tindak pidana korupsi atau suap," kata Oce saat dihubungi Republika, Selasa (12/7).

Menurutnya, dari kebanyakan kasus tindak pidana korupsi yang ditangani KPK, khususnya kasus suap, menggunakan uang tunai yang nominalnya cukup besar. Hal ini kata dia, salah satunya dipicu oleh tidak ada pengaturan pembatasan transaksi tunai.

"Sehingga orang dengan bebas melakukan transaksi secara tunai, karena sangat memungkinkan mereka untuk memberikan suap dalam jumlah batas yang tidak terkendali dan tidak diatur sama sekali," kata Oce.

Ia pun mendorong agar pembatasan transaksi uang tunai itu bisa segera direalisasikan. Menurutnya, sejumlah kasus suap semestinya mendasari berbagai pihak untuk melakukan terobosan untuk pencegahan korupsi. "Perlu terobosan, salah satunya mendorong agar menggunakan transaksi nontunai," ujarnya.

Apalagi kata dia, penggunaan nontunai ini makin mempermudah pengawasan terhadap korupsi. Dari perspektif pengusutan misalnya, akan lebih mudah memonitor dan mengawasi transaksi seseorang karena menggunakan jasa bank atau lembaga keuangan.

"Akan lebih gampang, semua akan tercatat dan termonitor dengan baik. Apalagi jumlah-jumlah tertentu juga akan dipantau oleh PPATK, dalam konteks pengungkapan kasus dan pengawasan juga ini efektif, ini yang mempersempit ruang untuk korupsi," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement