Senin 11 Jul 2016 16:21 WIB

Integrasi Pasar Daging Dinilai akan Matikan Peternak Lokal

Rep: Sonia Fitri/ Red: Nur Aini
Pedagang daging sapi melayani pembeli di Pasar Kosambi, Kota Bandung. Senin (4/7). Saat ini harga daging sapi naik dari Rp 120.000 menjadi Rp 130.000 Per kilogramnya. (Mamu Muhyidin)
Foto: Mahmud Muhyidin
Pedagang daging sapi melayani pembeli di Pasar Kosambi, Kota Bandung. Senin (4/7). Saat ini harga daging sapi naik dari Rp 120.000 menjadi Rp 130.000 Per kilogramnya. (Mamu Muhyidin)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keinginan pemerintah mengintegrasikan pasar daging berdasarkan jenis-jenisnya disebut sebagai dampak kebijakan yang salah kaprah. Pengamat Peternakan dari Universitas Padjajaran Rochadi Tawaf menyebut, pemerintah gagal mengidentifikasi permasalahan harga daging.

"Pemerintah salah membandingkan harga sapi berdasarkan jenisnya, tidak apple to apple," kata dia, Senin (11/7). Justru, kata dia, jika membandingkan harga daging sapi paha belakang milik Indonesia dengan dunia, harga justru jauh lebih murah.

Dalam penelitian, tingkat harga daging dapi paha belakang yang dijual di Indonesia yakni Rp 120 ribu menduduki peringkat 57 terendah di dunia. "Tenderloin impor itu ada yang harganya Rp 300 ribu, tapi di dalam negeri Rp 120 ribu," ujarnya. Sementara di tingkat Asia, harga daging paha belakang yang dijual di pasar Indonesia berposisi di peringkat 30. "Maka saya heran kenapa dianggap mahal, sedsngkan Kemendag pun menyebutnya stabil tinggi," katanya.

Jika pemerintah menginginkan "harga tengah", seharusnya mempertimbangkan kuasa konsumen dalam memilih produk daging mana yang ia suka. Preferensi konsumen tidak dapat diperdebatkan sebab masing-masing orang memiliki hak pribadi untuk memilih sumber protein apa yang ingin dia beli.

Perlu dipahami, kata Rochadi, harga daging di setiap bagian dan potongannya berbeda-beda. Ia meminta pemerintah Indonesia tidak meniru Singapura sebagai negara murni pengimpor sapi. "Di sana tidak ada peternak lokal, di sini banyak, harus diperhatikan," katanya. Pemerintah boleh melakukan impor daging beku sebanyak-banyaknya atau membuka impor daging kerbau India, dengan syarat berani menghancurkan peternak lokal.

Ia menegaskan, daging kebu dan daging segar berbeda jenis. Tentu harganya pun berbeda. Jika ingin diintegrasikan, hal tersebut berdampak pada kesalahan kebijakan. "Terlalu memaksakan," ujarnya.

Dampaknya, akan terjadi peningkatan impor daging beku. Sebab, peternakan lokal belum kuat dan siap dengan mekanisme penyimpanan daging beku. Selain itu, dia menilai Indonesia akan tergantung ke daging beku yang notabene daging buangan di negara asalnya.

Sebaliknya, nasib pasar daging segar akan terpuruk. Konsumen akan perlahan-lahan beralih mengonsumsi daging beku seperti terbiasanya pemerintah akan produk ayam broiler. "Peternak lokal, wassalam," tuturnya.

Baca juga: Integrasi Pasar Daging Sapi Segar dan Impor Dinilai Butuh Waktu Lama

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement