Jumat 08 Jul 2016 16:19 WIB

Pengendalian Harga dengan Daging Beku Dinilai Keliru

Rep: Sonia Fitri/ Red: Ilham
 Daging sapi beku yang disiapkan saat operasi pasar yang digelar Kementan di Jalan Sunda, Jakarta, Ahad (21/2). (Republika/Tahta Aidilla)
Daging sapi beku yang disiapkan saat operasi pasar yang digelar Kementan di Jalan Sunda, Jakarta, Ahad (21/2). (Republika/Tahta Aidilla)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Bincang-Bincang Agraria (BBA), Yeka Hendra Fatika menilai Kementerian Pertanian (Kementan) telah memberikan informasi dan rekomendasi yang keliru dalam agenda pengendalian harga daging. Penggelontoran daging beku ke pasar dinilai bukan solusi.

"Solusinya bukan impor daging beku, melainkan menambah pasokan sesuai dengan permintaan pasar," kata dia dalam siaran pers, Jumat (8/7).

Pemerintah mengganggap bahwa harga di pasar tradisional yang mahal merupakan sumber masalah, makanya seharusnya ketersediaannya ditingkatkan. Tapi yang terjadi, pemerintah malah menggelontorkan daging beku yang diperuntukkan untuk industri.

Akibatnya, yang terjadi bukan harga daging segar yang turun, tapi justru penambahan segmen pasar baru. Masyarakat yang tadinya tidak pernah atau tidak bisa membeli daging segar karena mahal, sekarang menjadi tertarik untuk membeli daging impor yang lebih murah. "Jumlah pembeli daging sekarang bertambah banyak, permintaan jelas makin tinggi," katanya.

Di sisi lain, segmen masyarakat yang membeli daging segar tidak akan berkurang. Sebab bagi mereka, tawaran yang diberikan pemerintah dengan cara menggelontorkan daging beku bukan hal yang mereka butuhkan.

Saat ini, harga rata-rata daging segar bagian paha belakang masih konsisten di kisaran Rp 120– 135 ribu per kilogram. Hal tersebut menjadi bukti nyata pemerintah tidak memahami segmentasi pasar dan perilaku konsumen daging.

Yeka menyebut, tingginya harga daging merupakan akibat pemerintah tidak hadir dalam mengatasi permasalahan di setiap rantai pasok. Tuduhan Kementan atas ketidakefisien rantai pasok juga dinilai mengada-ada. "Tuduhan itu keliru sekali," ujarnya.

Berdasarkan pengamatannya, para pelaku di rantai pasok bertindak seperti itu sebagai respon atas situasi pasar di setiap rantai pasok. Contoh, banyaknya populasi sapi asal NTT bukan berarti sapi dengan mudah bisa dibeli di sana. Sapi tersebar di setiap desa, dan jumlah sapi yang siap dijual oleh peternak di tiap desa berbeda-beda.

Selain itu, jarak antara lokasi desa ke pasar hewan pun jauh. Sementara pembeli sapi ada di pasar hewan. "Mereka tidak bertemu di pasar hewan, lahirlah blatik, pedagang sapi lokal yang keliling mencari sapi dan kemudian membawanya ke pasar hewan," ujarnya. Posisi yang seharusnya ditempati pemerintah digantikan oleh blantik atau pedagang lokal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement