REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dampak penggelontoran pasokan sebagian daging industri untuk agenda pengendalian harga pemerintah mulai terasa. Sejumlah pengusaha retail daging mulai sulit mendapatkan daging-daging industri yang biasa mereka peroleh dari importir.
"Kalau biasanya kita pesan langsung ada barangnya, tapi sekarang terhambat, misalnya saya pesan empat ton, jadi cuma dikasih dua ton (daging)," kata salah seorang pedagang retail daging lokal dan impor Deiwan Rahwanandi kepada Republika.co.id Ahad (19/6).
Kesulitan pedagang retail mendapatkan daging industri telah terasa sejak Mei 2016. Ia biasa membeli daging impor industri sekitar 30 huinga 50 ton per bulan. Barang tersebut dibelinya untuk memenuhi kebutuhan toko-toko daging di kawasan Ciparai dan Banjaran Jawa Barat.
Sejak Mei, bukan saja barangnya yang sulit di dapat, tetapi harganya pun menjadi lebih mahal. Harga per kilo daging untuk 85 CL sebelum Mei 2016 ada di kisaran Rp 57 hinga 58 ribu. Tapi ketika pasokan langka, harganya saat ini menjadi Rp 68 hingga 69 ribu per kilogram.
Sebagai informasi, daging CL adalah kepanjangan dari chemical lean. Daging tersebut merupakan hasil olahan dan bukan daging sapi murni. Daging yang terkandung di dalamnya merupakan campuran dari beragam daging pada sapi. CL 85 berarti dalam produk terkandung 85 persen daging campuran dan 15 persen lemak. Sedangkan CL 95 berarti ada lima persen lemak yang terkandung dalam produk tersebut.
Pemerintah belakangan ini 'meminjam' daging-daging yang seharusnya digunakan untuk industri tersebut sebagai instrumen pengendalian harga. Caranya dengan menggelontorkan daging-daging tersebut ke Toko Tani Indonesia, Operasi Pasar (OP) serta pasar yang bisa dijangkau masyarakat umum. Daging dibandrol dengan harga Rp 70 ribu per kilogram.
Berdasarkan informasi dari distributornya, Deiwan mengetahui penyebab pasokan daging seret yakni pasokan tersebut dialihkan untuk OP Bulog. "Katanya mereka didatangi menteri, suruh dipakai buat OP, sudah dikontrak Bulog, jadi pasokan ke kita dikurangi," lanjutnya.
Ia heran karena selazimnya pemerintah dan Bulog membantu menambah pasokan, bukannya mengambil pasokan. Deiwan melihat, ketika pemerintah ingin menambah pasar baru untuk pengendalian harga, pasokannya pun seharusnya di tambah. Caranya dengan melakukan impor tambahan dengan cara tak mendadak.
Kabarnya, masih berdasarkan informasi yang ia peroleh dari distributor daging, Bulog akan mengimpor 27 ribu ton daging, tapi kedatangannya baru akan terealisasi Agustus 2016. Alhasil, Bulog harus 'meminjam' daging yang seharusnya ditujukan untuk kebutuhan industri.
Ia pun mengimbau agar pemerintah mau jujur melihat pasokan dengan kebutuhan yang ada. "Secara sederhana, supply demand sudah bisa dihitung, harusnya sesuaikan saja, jangan bilang ada tapi tidak ada," tuturnya.
Menurut dia, impor juga jangan dilakukan secara mendadak ketika harga bergejolak. Sebab, proses impor daging tidak sederhana dan makan waktu.