REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) menilai kenaikan harga sapi bukan hanya karena adanya kartel yang memainkan harga. Namun hal ini juga ditunjang dengan kebijakan pemerintah yang membuat harga daging sapi bisa melejit.
Ketua KPPU Syarkawi Rauf mengatakan sejumlah kebijakan pemerintah yang dilakukan beberapa tahun lalu membuat kelangkaan daging sapi. Hasilnya harga daging yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat melambung tinggi.
Salah satu kebijakan tersebut adalah keinginan pemerintah untuk meningkatkan konsumsi daging sapi per kapita per tahun. Namun keinginan ini tidak ditunjang dengan kebijakan Kementerian Pertanian yang mengurangi impor sapi karena berniat melakukan swasembada sapi sejak 2009.
Niatan swasembada ini akhirnya berdampak pada pengurangan jumlah impor sapi sekitar 10 persen setiap tahunnya. Itikad tersebut justru membuat kelangkaan daging sapi dan melejitnya harga daging sapi.
"Waktu itu harga sapi masih Rp 60 ribu per kg. Namun ini naik terus hingga puncaknya pada 2015 yang melonjak hingga Rp 130 ribu per kg dan sampai sekarang sulit untuk turun harga," ujar Syarkawi di kantor Ketua Komisi Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), Jakarta, Selasa (14/6).
Dia menambahkan, swasembada ini hanya menggebu di awal, tapi realisasinya tidak terlihat dan malah membuat kebutuhan sapi meningkat tapi tidak dimbangi dengan jumlah produksi sapi lokal masih stagnan.
Selain keinginan swasembada sapi, kebijakan dalam menentukan kuota sapi per kuartal bagi perusahaan penggemukan sapi (feedloter) juga dinilai kurang tepat. Sebab dengan kuota per kuartal, terdapat kesulitan pengusaha untuk mendapatkan harga sapi murah karena persoalan cuaca di negara pengimpor yaitu Australia. Di negara tersebut, harga sapi akan sangat mahal saat musim dingin tiba.
"Dari penuturan pengusaha feedloter dalam fakta persidangan, mereka mengaku bahwa harga yang mahal juga dikarenakan cuaca di Australia. Pas musim dingin sangat sulit mengumpulkan sapi dan kendaraan untuk mengangkut sapi ke Indonesia. Jadi harganya mahal," ungkap Syarkawi.
Melihat hal ini, Syarkawi menyarankan agar pemerintah tidak memberikan peraturan impor dengan kuota per kuartal, namun dilakukan untuk satu tahun sehingga perusahaan feedloter bisa melihat waktu yang tepat dalam mengimpor sapi.
Selain persoalan kuota per kuartal, KPPU juga melihat bahwa pemerintah bisa mengganti sistem kuota dengan sistem tarif. Melalui sistem tarif pemerintah bisa menentukan tarif sesuai dengan batas wajar harga sapi yang akan dijual di pasaran.