Jumat 27 May 2016 00:18 WIB

Pikat Lembaga Keuangan, BEKraf Upayakan Ekosistem Ekraf Positif

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Julkifli Marbun
Badan Ekonomi Kreatif Indonesia
Foto: Wikipedia
Badan Ekonomi Kreatif Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Untuk memikat lembaga keuangan formal untuk mau berinvestasi dan membiayai ekonomi kreatif, Badan Ekonomi Kreatif (BEKraf) mengupayakan terciptanya ekosistem ekonomi kreatif yang positif.

Deputi Akses Permodalan BEKraf Fadjar Hutomo menjelaskan, BEKraf memiliki enam kedeputian fungsional yakni deputi riset, edukasi dan pengembangan, deputi akses permodalan, deputi infrastruktur, deputi pemasaran, deputi fasilitasi hak kekayaan intelektual dan regulasi, serta deputi hubungan antar lembaga. Dari sana, terlihat ekosistem apa yang akan BEKraf bentuk.

Kedeputian akses permodalan bertugas pada memudahkan akses modal pada pelaku usaha kreatif. Di satu sisi, lain BEKraf mendorong bank dan non bank mau membiayai sektor kreatif. Di sisi lain, BEKraf juga harus membuat subsektor industri kreatif menarik untuk dibiayai.

Pun para pengusaha industri kreatif juga harus punya bekal pengetahuan termasuk manajemen keuangan. Sebab fasilitasi pembiayaan atau kredit seperti kredit usaha rakyat (KUR) saja tidak cukup membuat tujuan penyalurannya berhasil. Harus ada pembekalan bagi para penerima dana KUR juga untuk mengurangi salah guna kredit yang diberikan karena kurangnya kapasitas manajerial dan literasi keuangan.

Usaha kreatif adalah industri yang aset utamanya adalah daya kreasi atau aset intelektual yang bersifat non fisik. Aset ini yang berpotensi dimonetisasi menghasilkan nilai ekonomi.

Salah satu program BEKraf adalah pembiayaan kekayaan intelektual. Bicara bagaimana bank dan non bank untuk mau membiayai sektor ini, yang perlu dilakukan adalah dengan membangun ekonomi kreatif sebagai eksosistem yang sehat termasuk dengan membangun kapasitas pengelolaan bisnis para pelakunya.

Fasilitas kredit usaha rakyat (KUR) dengan kredit maksimal Rp 500 juta adalah nilai cukuk untuk menambah modal usaha UKM. "Persoalannya pada skema. Bank punya banking wise, termsuk soal jaminan," kata Fadjar usai konferensi pers serial pelatihan seputar permodalan dan pembiayaan syariah yang digelar BEKraf awal pekan ini.

77 persen lembaga keuangan di Indonesia, lanjut Fadjar, masih mensyaratkan agunan fisik terutama properti. Hanya 22 persen UKM yang mempunyai aset fisik tanah dan bangunan. Sementara aset terbesar ekonomi kreatif adalah daya cipta, tidak berbentuk.

Cara pandang produksi berbeda dan belum kenal lembaga keuangan inilah yang ingin BEKraf kenalkan. Bila tidak ada agunan, berarti harus ada pengganti agar lembaga keuangan tenang. "BEKraf membuat satgas anti pembajakan juga bagian pembentukan iklim ekonomi kreatif yang lebih sehat sehingga bank mau masuk ke sektor ini," ungkap Fadjar.

Fadjar mengatakan data pembiayaan sektor ekonomi kreatif masih diupayakan termasuk melalui sensus ekonomi yang digelar BPS. Tapi secara parsial seperti KUR BRI dan BNI per April 2016, jumlah KUR tersalur ke UKM kreatif pada Januari-April 2016 sudah mencapai Rp 2 triliun. Besaran pembiayaan UKM kreatif juga bervariasi tergantung usahanya, kerajinan dengan film akan beda kebutuhan dananya.

Sementara dari modal ventura, salah satu subsektor ekonomi kreatif, aplikasi digital, hampir 100 persen modal pelaku usaha aplikasi digital berasa dari modal ventura. Sementara untuk teknologi keuangan (fintech), BEKraf sedang berdiskusi intensif dengan Asosiasi Fintech Indonesia dan sedang mengembangkan peer to peer lending.

"Walau belum ada regulasi, tapi OJK sudah memberi perhatian dengan sudah mengkaji industri ini. BEKraf juga dilibatkan dalam diskusi mereka. Ini akan beri alternatif sumber dana ke UKM kreatif selain sumber dana tradisional yang tersedia," kata Fadjar.

Soal pembiayaan syariah ke sektor ekonomi kreatif, Fadjar mengatakan sebenarnya secara filosofis modal ventura sudah syariah dengan kontrak seperti musyarakah dan mudharabah. Hanya saja, modal ventura nasional saat ini sendiri harus diarahkan kembali pada fungsi asalnya.

McKinsey dalam 'Cutting Through the Fintech Noise' menyebut, secara global, hampir 23 miliar dolar AS dana dari modal ventura dan ekuitas dikucurkan bagi aneka fintech dalam lima tahun terakhir.

Dalam laporan Islamic Digital Economy 2015 terbitan Thomson Reuters dan DinarStandard, ekonomi digital global diprediksi mencapai 1,9 triliun dolar AS pada 2014. Dengan pertumbuhan rata-rata tahunan (CAGR) 15 persen hingga 2020, dinilainya diprediksi akan menjadi 4,3 triliun dolar AS.

Pada 2014, potensi ekonomi digital komunitas Muslim ada di urutan empat secara global dengan nilai 107,2 miliar dolar AS disusul Jepang 98 miliar dolar AS. Tiga posisi teratas diduduki AS 487,5 miliar dolar AS, Cina 419,6 miliar dolar AS, dan Inggris 129,4 miliar dolar AS.

CAGR potensi pemanfaatan ekonomi digital oleh Muslim global diprediksi mencapai 17 persen, sehingga pada 2020 nilainya akan mencapai 277 miliar dolar AS. Di sisi lain, komunitas Muslim mewakili hampir seperempat populasi dunia dan 5,8 persen ekonomi digital global pada 2014.

Ada lima negara OIC potensial ekonomi digital yakni Turki dengan potensi 8,6 miliar dolar AS, Mesir 6,5 miliar dolar AS, Malaysia 6,8 miliar dolar AS, Nigeria 0,9 miliar dolar AS dan Indonesia 5 miliar dolar AS.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement