REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Indonesia Property Watch (IPW) mengusulkan agar uang muka untuk rumah pertama bagi pihak pembeli dapat ditekan hingga nol persen guna menggairahkan kembali pertumbuhan sektor properti nasional.
"Indonesia Property Watch mengusulkan besaran uang muka sampai nol persen khususnya untuk rumah pertama dan 10 persen untuk rumah kedua. Sedangkan untuk rumah ketiga dan seterusnya silakan diperketat," kata Direktur Eksekutif IPW Ali Tranghanda dalam keterangan tertulis, Rabu (25/5).
Menurut Ali Tranghanda, usulan tersebut mengingat uang muka dan besaran cicilan menjadi permasalahan konsumen dalam membeli rumah. Selain itu, karakteristik pasar perumahan berbeda dengan kendaraan bermotor karena secara jaminan lebih aman dan tidak bisa berpindah-pindah.
"Selain uang muka, besarnya cicilan akan memberikan masalah lain, menyusul suku bunga KPR yang belum juga turun meski BI Rate berada di level 6,75 persen," katanya.
Ia juga mengingatkan agar pengembang saat ini harus mengikuti pasar dan tidak bisa arogan bertahan dengan gengsi di pasar perumahan dalam negeri.
Sebelumnya, IPW menginginkan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) benar-benar dapat mengawasi indikator terkait sektor properti yang saat ini kecenderungannya dinilai masih mengalami kelesuan. "Pengamatan dan analisis pasar yang dilakukan Indonesia Property Watch sampai triwulan II/2016 memperlihatkan pasar perumahan dan properti nasional belum bergerak naik, bahkan ada kecenderungan semakin terpuruk," kata Ali.
Menurut Ali , perkiraan sebelumnya pasar properti akan lepas landas pada tahun ini dikhawatirkan tidak akan tercapai. Bahkan, masih menurut dia, pada tahun ini diperkirakan merupakan tahun terburuk yang harus dilalui pasar properti.
Untuk itu, ia menegaskan BI dan OJK benar-benar menyadari meskipun BI Rate (suku bunga acuan) turun sampai 6,75 persen, namun suku bunga KPR belum juga turun signifikan dikarenakan biaya yang tinggi di kalangan perbankan.
Pertumbuhan penjualan perumahan sampai akhir 2015 menurun sebesar minus 2,87 persen (yoy). Penurunan tersebut dimulai di semester II 2015. Sedangkan pada kuartal I/2016 pasar perumahan kembali terpuruk minus 23,1 persen (qtq) atau minus 54,09 persen (yoy) dan diperkirakan akan semakin terpuruk pada triwulan II/2016.
"Kondisi ini seharusnya lebih diwaspadai oleh pemerintah mengingat dengan adanya tren pertumbuhan kredit seharusnya akan mendorong pertumbuhan penyerapan penjualan rumah. Namun yang terjadi malah terjadi penurunan penjualan perumahan sampai akhir 2015," katanya.