REPUBLIKA.CO.ID,PEKANBARU -- Konfederasi Serikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi) menyatakan sekitar 800 orang karyawan PT Chevron Pacific Indonesia menunggu untuk dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), setelah akhir April tahun ini 806 orang terkena PHK.
"Itu yang dilakukan Chevron terhadap sisa 800 orang lagi, dari total 1.600 orang karyawan jalani pensiun dini," kata Ketua Sarbumusi Basis Chevron Riau, Nofel di Pekanbaru, Rabu (11/5).
Saat ini pihaknya mengklaim, perusahaan multinasional asal Amerika Serikat pada bidang minyak dan gas bumi tersebut, sedang mengurus berbagai administrasi karena termasuk dalam program Workforce Management/WFM atau pengelolaan tenaga kerja bagi sekitar 100 pekerja. Berdasarkan data Sarbumusi terdapat 740 orang karyawan, terdiri dari 500 orang lebih karyawan di Pulau Kalimantan dan sekitar 200 orang pekerja di Provinsi Riau terkena PHK pada akhir Maret 2016.
Chevron miliki total karyawan berjumlah sekitar 6.500 orang di Indonesia yang mengantungkan hidup pekerja serta keluarga mereka dari sektor migas di dalam negeri. "Kalau yang terjadi sekarang ini, ada dua pilihan bagi karyawan Chevron. Pilihannya adalah kalau memilih tetap bekerja, maka konsekuensi harus turun jabatan dengan tidak turunkan pangkat. Imbasnya, karyawan tidak akan naik gaji dan berujung pada PHK," ungkapnya.
Nofel menjelaskan, dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, seseorang boleh diturunkan jabatan karena demosi sebagai akibat melakukan kesalahan. Tapi sekarang yang berlaku di Chevron, kata dia, tanpa melakukan kesalahan, akan tetapi seorang karyawan di perusahaan migas tersebut tetap diberi demosi. "Kan ini suatu pelanggaran juga," ujarnya.
Pilihan terakhir, kata Nofel, Chevron memberikan pilihan bagi karyawan yang tidak memilih, berarti harus memiilih pensiun dini atau PHK. "Kan dua-duanya pilihannya, tidak enak. Tembak pertama, kena kepala dan tembak kedua, kena kaki. Jadi kemana pun, tentu kawan-kawan di Chevron lebih memilih kena kaki," ujarnya. "Fakta ini sudah kita serahkan ke disnaker, bahwa bukan pengunduran diri. Tetapi pemaksaan PHK atau lebih parah dari intimidasi," ucap Nofel.
Senior Vice President, Policy, Government, and Public Affairs Chevron Indonesia, Yanto Sianipar sebelumnya mengatakan, perusahaan migas itu kini tengah melakukan kajian terhadap semua model bisnis dan operasi.
"Latar belakangnya bukan hanya karena harga minyak yang rendah, melainkan sejak tahun lalu kami sudah melakukan tinjauan terhadap bisnis dan operasi di lapangan," katanya.