Selasa 12 Apr 2016 02:15 WIB

Tata Kelola Migas Harus Dilaksanakan NOC

  AKtivitas para pekerja di ladang minyak dan gas (migas) Handil, Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur.  (Republika/Agung Sasongko)
AKtivitas para pekerja di ladang minyak dan gas (migas) Handil, Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. (Republika/Agung Sasongko)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --- Tata kelola minyak dan gas nasional harus dilaksanakan National Oil Company (NOC), bukan oleh lembaga pemerintah, seperti Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).

“Untuk itu, pembahasan RUU Migas harus menolak perubahan SKK Migas menjadi BUMN Khusus atau lembaga apa pun. SKK Migas harus dibubarkan dan digabung dengan Pertamina,” kata anggota Komisi VII DPR Kurtubi terkait pembahasan RUU Migas, di Jakarta, Senin (11/4).

Adapun di sisi hilir, Kurtubi juga meminta agar BPH Migas harus dibubarkan dan digabung dengan Direktorat Jenderal Migas. Alasannya, untuk menyederhanakan sistem karena selama ini keberadaan BPH Migas justru membuat mata rantai menjadi lebih panjang. Keberadaaan BPH Migas saat ini, kata dia, justru menjadi beban bagi perusahaan minyak karena harus memberikan iuran. “Jadi, agar investasi migas kembali bergairah, sistemnya harus sederhana. Tidak boleh lagi diberlakukana sistem birokarasi yang berbelit-belit,” ujar Kurtubi.

Alasan lain yang membenarkan kuasa pertambangan harus diserahkan kepada NOC, bukan kepada pemerintah, lantaran pemerintah tidak boleh berbisnis.  Dengan demikian, kekayaan migas nasional juga harus dikelola NOC. Aset yang berupa cadangan migas di perut bumi dikelola, dibukukan, dan dapat dimonetisasi oleh NOC.

“Dan yang bertindak sebagai NOC tentu saja Pertamina,” kata Kurtubi.

Selain itu, pemerintah adalah sebagai pemegang kedaulatan dan pemegang kebijakan. Dalam hal ini, posisi pemerintah berada di atas Pertamina. Pertamina, lanjut Kurtubi, ditugaskan untuk memaksimalkan penerimaan negara dari sektor migas. Selain itu, Pertamina juga ditugaskan untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) nasional.

Menurut Kurtubi, sikapnya tersebut juga menjadi sikap fraksi Nasdem di DPR. Alasannya, fraksinya ingin mengembalikan tata kelola migas sesuai konstitusi.

Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengingatkan, penguasaan negara atas kekayaan migas perlu ditata ulang. Sebab, pengaturan dalam UU Migas Nomor 22 Tahun 2001 memang sangat liberal. Tak heran, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 36/2012 memuat adanya 14 pasal dalam UU Migas yang inkonstitusional.

Menurut Marwan, dominasi pengelolaan hulu migas oleh BUMN atau NOC cukup rendah, yaitu sekitar 20 persen.  Sebagai perbandingan, pengelolaan hulu migas oleh NOC Brasil sebesar 81 persen, Aljazair 78 persen, Norwegia 58 persen, dan Malaysia 47 persen. “Artinya, Pertamina tidak berperan sebagai tuan di negara sendiri, sebagaimana berlaku bagi NOC negara lain yang porsi produksi domestiknya besar. Ini sangat mengancam ketahanan energi,” lanjut dia.

Penyebab semua hal itu, kata Marwan, adalah pemberlakuan UU Nomor 22 Tahun 2001. UU tersebut, membuat hak eksklusif BUMN mengelola migas dalam UU Nomor 44 Prp Tahun 1960 dan UU Nomor 8 tahun  1971 menjadi hilang. Sebagai ganti, pengelolaan migas beralih kepada kontraktor asing melalui BP Migas dan SKK Migas.

Akibatnya, imbuh Marwan, para kontraktor membuat kontrak dengan BP Migas atau SKK Migas. Padahal, keduanya hanya badan hukum milik negara (BHMN), bukanlah badan usaha yang mampu mengelola dan memonetisasi aset, sehingga kekayaan migas tidak termanfaatkan dan termonetisasi secara optimal. “Untuk itu, skema pengelolaan oleh BHMN sebagaimana dijalankan SKK Migas harus diakhiri,” kata Marwan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement