Selasa 05 Apr 2016 16:43 WIB

Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen Diprediksi Sulit Dicapai

Rep: C37/ Red: Nur Aini
Pertumbuhan ekonomi (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Pertumbuhan ekonomi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- PT Bank Mandiri (Persero) Tbk memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2016 sebesar 5 persen, membaik dari tahun sebelumnya yang 4,7 persen. Namun, untuk mencapai angka tersebut, dinilai agak berat.

Chief Economist PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Anton H Gunawan menjelaskan, pertumbuhan ekonomi global diprediksi berada di kisaran 2-3 persen. Sedangkan Indonesia berada di kisaran 4,9 hingga 5,2 persen di tahun 2016 ini.

"Global masih melambat. Tapi kecenderungannya slow down. Kita relatif masih lemah ekonominya," ujar Anton saat pemaparan Indonesia macroeconomic forecast di Plaza Mandiri, Jakarta, Selasa (5/4).

Anton menjelaskan, hal ini ditandai beberapa hal seperti defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang mengecil atau terlihat membaik. Padahal hal itu bukan karena ekspor meningkat, tapi karena impor yang turun.

"Ini cerminan dari lemahnya perekonomian kita. Di satu pihak seneng CAD pressure menurun, tapi sebenarnya masih weak ekonominya sejak dua tahun lalu," ujarnya.

Anton menjelaskan, Produk Domestik Bruto (PDB) di kuartal IV 2015 yang mencapai 5,04 persen, membaik dari kuartal sebelumnya. Namun, hal tersebut bukan karena daya beli masyarakat yang meningkat, tapi karena proyek infrastruktur pemerintah.

"Satu-satunya hal yang banyak mendorong ke atas 5 persen lebih di kuartal IV karena government spending, terutama investment dan beberapa private spending," paparnya.

Selain itu, ia menilai jika inflasi Indonesia juga termasuk lemah. Inflasi yang berada di kisaran 4,5 persen di awal tahun ini terlihat seperti normal inflasi, padahal menurutnya lemah.

"Core inflation cenderung menurun, biasanya dikaitkan dengan daya beli, artinya daya beli belum menguat," ujarnya.

Penurunan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang termasuk dalam inflasi komponen administered prices, kata Anton, tidak cukup untuk mendorong penurunan inflasi hingga tiga persen. Komponen yang terpenting adalah volatile food.

"Bukan karena demand tinggi, tapi karena aturan-aturan segala macam termasuk lemahnya logistik kita. Ingin swasembada tapi ada El Nino juga. Kalau nggak cepat ditangani impor, harga pangan kita relatif tinggi. Padahal di luar cenderung turun. Tapi sebenarnya inflasi kita mencerminkan weak economy. Jadi produktivitas masih melambat," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement