Sabtu 19 Mar 2016 13:48 WIB

Aturan BPJS Kesehatan Dinilai Perlu Diperbaiki Sebelum Tarif Dinaikkan

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Nur Aini
Warga mengurus BPJS Kesehatan di kantor BPJS Kesehatan Yogyakarta, Rabu (16/6).
Foto: Antara/Andreas Fitri Atmoko
Warga mengurus BPJS Kesehatan di kantor BPJS Kesehatan Yogyakarta, Rabu (16/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf meminta agar pemerintah tidak tergesa-gesa dalam rencananya menaikan iuran BPJS Kesehatan. Menurutnya, masih banyak yang harus diperbaiki. Utamanya adalah perbaikan regulasi, konsep pembagian alokasi anggaran yang disalurkan BPJS ke rumah sakit-rumah sakit yang menjadi anggota BPJS Kesehatan, serta distribusi obat-obatan serta peralatan rumah sakit yang belum merata.

"Termasuk ke Puskesmas-Puskesmas di daerahnya. Agar paling tidak, masalah penyakit itu tidak semuanya dilimpahkan ke rumah sakit, tapi juga bisa diselesaikan di fasilitas kesehatan tingkat pertama, ya puskesmas-puskesmas itu," kata Dede, di Cikini, Jakarta, Sabtu (19/3).

Menurutnya, distribusi pelayanan kesehatan yang ada saat ini belum merata dan masih terpusat pada kota-kota besar atau kabupaten-kabupaten besar. Akibatnya, banyak ditemui, rumah sakit yang berkapasitas besar, tapi peralatannya tidak lengkap. Ada juga, rumah sakit yang memiliki fasilitas lengkap, tetapi dokter yang tersedia sangat terbatas.

Padahal, setelah program BPJS Kesehatan ini berjalan selama dua tahun, telah mengalami lonjakan yang sangat besar. Lonjakan tersebut terkadang membuat pasien terlantar, lantaran tidak didukung pelayanan yang memadai.

"Layanananya belum siap untuk menerima jumlah lonjakan itu," ucap Dede.

Permasalahan yang ada, kata dia, tidak hanya menjadi beban para pasien yang telah terdaftar di BPJS Kesehatan. Tenaga kesehatan pun mengalami permasalahan serupa, terutama dalam hal penerimaan pembayaran dari rumah sakit.

Dede membeberkan, rumah sakit tipe A, mendapatkan anggaran dari BPJS sekitar Rp 80 miliar per bulan. Tak heran jika rumah sakit tipe A seperti RSCM contohnya, bisa mendapatkan Rp 1 triliun pertahun dari BPJS. Begitu pun dengan rumah sakit tipe D yang rata-rata mendapatkan anggaran Rp 20 miliar per bulan.

"Apakah dana ini sudah terdistribusi dengan baik kepada pelaku tenaga kesehatan, kepada fasilitas, alat kesehatannya, dan seterusnya, ini yang belum jelas," kata Dede.

Keadaan di daerah, kata Dede, keadaannya lebih miris lagi. Menurutnya, banyak sekali rumah sakit non-Badan Layanan Umum yang ketika dibayar oleh BPJS, uangnya tidak bisa langsung dibayarkan kepada para tenaga kesehatan. Tetapi harus memutar dulu melalui APBD. Di APBD, uang tersebut bisa didiamkan sekitar 6 bulan-8 bulan. Baru setelah sah, uang tersebut diturunkan kembali ke rumah sakit.

"Setelah turun pun belum tentu dibayarkan langsung oleh rumah sakit ke tenaga kesehatan. Mungkin dibagi dulu, yang ini buat pembangunan, yang ini buat ke bupatinya. Itu sebabnya banyak tenaga medis dan rumah sakit yang menolak pasien. Karena dananya masih muter di APBD," kata Dede.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement