REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar bidang politik dari Burapha University, Thailand, Vichien Tansirikonghon menanyakan perlunya diberlakukan suatu pasar tunggal yang menaungi negara-negara ASEAN.
Vichien memandang bahwa Massyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) adalah salah satu bentuk liberalisasi sektor ekonomi yang berpotensi memunculkan kesenjangan ekonomi dan sosial antara negara-negara ASEAN yang tergolong kuat dan yang lemah.
Tentang kesiapan negaranya, Thailand, dalam menghadapi MEA, Vichien terang-terangan mengakui bahwa negaranya tidak mempersiapkan apapun. Menurutnya, pemerintah Thailand belum memahami esensi dari MEA sehingga tidak mempersiapkan kebijakan yang matang di bidang ekonomi.
“Saya khawatir dengan adanya MEA, perusahaan besar akan mencaplok perusahaan kecil yang lemah, dan negara dengan ekonomi maju akan mendominasi perekonomian dalam negeri negara yang lebih lemah,” kata mantan polisi yang beralih profesi menjadi dosen ini, dalam diskusi “Political Economy Policy in Indonesia, Malaysia, and Thailand during ASEAN Economic Community Era” di Universitas Brawijaya, Malang, Jumat (18/3).
Sementara itu, perwakilan Universiti Malaya, Mohd. Fauzi Yaacob mengatakan, rahasia kebangkitan ekonomi Malaysia di era modern karena kekuatan etnis Cina. Yaacob menuturkan, di era 1950 hingga 1970an, pemerintah Malaysia menyadari kekuatan etnis Cina di Malaysia yang sangat kuat dalam hal penguasaan bidang ekonomi.
Pemerintah Malaysia, ujar Yaacob, ingin agar kaum pribumi lebih banyak mengendalikan perekonomian di negaranya sendiri. Oleh karena itu, pemerintah Malaysia mendirikan Bumiputera yang berperan dalam mengambilalih dan mengendalikan perusahaan dalam negeri sehingga kaum pribumi di Malaysia lebih berdaya di negerinya sendiri.
“Bumiputera dibentuk untuk mengimbangi kompetisi antara Malaysia dan negara Cina serta etnis Cina yang tinggal di Malaysia agar penduduk asli lebih berperan dan berdaya dalam mengendalikan kekayaan negerinya,” kata Yaacob.