REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penggunaan pupuk hayati dan biodekomposer mulai dirintis dalam rangka pemulihan kualitas tanah. Sepertiga tanah di dunia telah rusak atau terdegradasi. Penyebab hal tersebut di antaranya deforestasi, erosi, penutupan tanah dan perluasan perkotaan, polusi, perubahan iklim, dan proses lain yang disebabkan oleh praktek-praktek pengelolaan lahan yang tidak berkelanjutan.
"Lahan yang rusak juga bisa menurunkan produktivitas tanaman," kata Direktur Utama Perusahaan Pupuk PT Bionusa Ahmad Kertabumi, di Jakarta, Rabu (9/3). Ia mengaku tertarik mempopulerkan penggunaan pupuk hayati, termasuk yang dihasilkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Pertanian.
Ia mengakui, saat ini penggunaan pupuk kimia masih populer digunakan di lahan perkebunan dan pertanian. Pupuk tersebut meningkatkan produktivitas secara instan, namun juga merusak tanah dan lama kelamaan mengikis produktivitas tanaman.
Oleh karena itu, penggunaan pupuk hayati mesti dirintis karena membuat lahan sehat dan produksi tanaman meningkat secara wajar. Penggunaannya juga akan mengurangi penggunaan pupuk kimia secara perlahan. Perusahaannya berencana mengaplikasikan pupuk hayati untuk lahan perkebunan sawit dan karet.
Staf Bidang Riset PT Pupuk Kujang Arlyza Eka Wijayanti berpandangan senada. "Pupuk hayati mau tidak mau harus digunakan untuk pengelolaan lahan berkelanjutan," katanya. Penggunaannya hingga kini belum meluas karena petani lebih terbiasa menggunaan pupuk kimia. Peran perusahaan akan komitmen bersinergi dengan pemerintah agara agenda pemulihan tanah terakselerasi dengan teknologi tersebut.
Kepala Balitbangtan Kementan Muhammad Syakir mendorong perusahaan dan swasta agar melisensi pupuk-pupuk hayati. Tujuannya agar keterjangkauan masyarakat dan petani lebih mudah dalam memeroleh pupuk sehat. "Tapi kita belum ada agenda memasukannya dalam program subsidi pupuk," katanya.
Baca juga: Litbang Kementan Luncurkan Pupuk Pemulih Kualitas Tanah