Senin 15 Feb 2016 14:03 WIB

Tenaga Kerja Lokal Masih Terkendala Hadapi MEA

Rep: Eko Supriyadi/ Red: Nur Aini
Bursa tenaga kerja.  (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Bursa tenaga kerja. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Menteri Tenaga Kerja Hanif Khanif Dhakiri, membeberkan kendala angkatan kerja Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN.

''Kita siap, tenaga kerja Indonesia siap menghadapi persaingan global. Masalahnya bukan pada kemampuan, tapi pengakuan,'' kata Hanif, saat rapat kerja dengan Komite III DPD RI, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (15/2).

Ia mencontohkan, petani tembakau di Wonosobo memiliki kemampuan untuk menganalisis seperti apa kriteria tembakau yang berkualitas, hanya dengan mencium dan menyentuh daunnya.

Dengan kemampuannya itu, petani tersebut semestinya bisa menjadi analis tembakau. Namun, karena mereka tidak sekolah, maka kemampuannya tersebut tidak diakui oleh perusahaan.

''Tantangan kita mereka yang punya keterampilan tapi tidak memiliki akses, dan yang punya pengalaman tidak memiliki sertifikasi profesi,'' ungkap dia.

Hanif mengatakan, jumlah penduduk Indonesia saat ini sebanyak 255 juta jiwa. Sementara angkatan kerjanya ada 122 juta jiwa. Dari jumlah itu, 114 juta jiwa bekerja dan 7 juta jiwa menganggur.

Namun, yang jadi persoalannya, kata dia, adalah, 68 persen dari angkatan kerja tersebut adalah lulusan SD dan SMP. Sementara 22 persen lulusan SMA. Artinya, sebanyak 90 persen angkatan kerja Indonesia merupakan lulusan SMA ke bawah.

''Itu bahan baku tenaga kerja kita. Jadi kita menghadapi sebuah generasi yang populasinya akan membesar pada 2025, tapi less skill,'' ungkap Hanif.

Hanif mengakui, selama ini pengembangan keterampilan tenaga kerja tidak tampak. Akses pelatihan kerja pun minim. Hal itu juga disebabkan oleh rasio pelatihan kerja sudah tidak sebanding dengan jumlah angkatan kerja yang lulusan SD nya sebesar 68 persen.

Oleh karena itu, Kemenaker mencoba memperkuat akses dan mutu dari pelatihan kerja, meski anggarannya belum tersedia. Hanif berpikiran, kalau semua anak usia sekolah bisa didorong untuk masuk sekolah, maka semua usia produktif juga bisa didorong ikut pelatihan kerja.

''Sehingga orang di bawah punya pilihan, untuk sekolah atau pelatihan. Sejauh ini pelatihan kerja belum dianggarkan dalam anggaran fungsi pendidikan,'' katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement