REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi X DPR, yang membidangi seni dan budaya, Abdul Kharis Almasyhari meminta pemerintah tidak tergesa-gesa untuk merevisi Daftar Negatif Investasi (DNI), khususnya di sektor Industri Perfilman.
"Karena kita belum memiliki regulasi proteksi yang kuat untuk melindungi seluruh elemen yang terlibat dalam industri perfilman di Indonesia," kata politis PKS dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Jumat (12/2).
Pemerintah dalam waktu dekat segera merampungkan pembahasan revisi DNI. Hal tersebut untuk membuka kesempatan yang lebih besar bagi pemodal asing berinvestasi lebih di sektor usaha di dalam negeri. Salah satu sektor yang turut direvisi adalah investasi di sektor industri perfilman, mulai dari produksi, distribusi, hingga eksebisi.
Abdul Kharis menilai, jika pemerintah fokus menggarap industri tersebut, perfilman Indonesia dapat bersaing dengan dunia internasional. Ini, menurutnya, merupakan kewajiban pemerintah untuk melindungi industri film lokal.
Ia optimistis, kualitas film Indonesia mampu bersaing di dunia global jika ada upaya keras dari masyarakat sebagai penonton, pemerintah sebagai penyusun kebijakan, serta stakeholder lainnya yang ingin melihat industri film lokal kita lebih baik.
Abdul menyarankan, pemerintah agar mengevaluasi empat hal sebelum merevisi DNI tersebut. Empat hal tersebut, ia menjabarkan, mahalnya pajak terhadap film lokal dibandingkan film impor, distribusi bioskop yang hanya terkonsentrasi di kota-kota besar, monopoli pengelolaan bioskop, serta sulitnya mendapatkan izin untuk melakukan pengambilan gambar.
"Dari evaluasi ini akan ditemukan kendala apa saja sehingga perlu diperbaiki dalam skala prioritas. Pemerintah harus fokus dulu pada penyelesaian skala prioritas ini," tuturnya menambahkan.