Kamis 11 Feb 2016 15:51 WIB

Banyak Pembiayaan Macet, BPRS Minta Kelonggaran Regulasi

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Nidia Zuraya
Karyawati melayani nasabah di bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS) Al Salaam, Jakarta. (Republika/Agung Supriyanto)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Karyawati melayani nasabah di bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS) Al Salaam, Jakarta. (Republika/Agung Supriyanto)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Untuk membenahi kualitas pembiayaan, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) meminta regulator, yakni Otoritas Jasa Keuangan (OJK), memberi kelonggaran regulasi. Sebab, memburuknya kinerja BPRS disebabkan aneka faktor.

Ketua Kompartemen BPRS Asosiasi Perbankan Syariah Indonesia (Asbisindo) Cahyo Kartiko, berharap regulator dapat memberikan solusi jangka pendek atas menurunnya kualitas pembiayaan yang tercermin dari tingginya NPF BPRS. Misalnya dengan menerbitkan kebijakan penilaian aktiva produktif khususnya pembiayaan berbasis bagi hasil dalam hal penentuan kolektibilitasnya.

Selain itu, melonggarkan aturan restrukturisasi dan hapus buku (write off) pembiayaan bermasalah. ''OJK belum memberi respon. Tapi kami akan aktif mengajak OJK,'' ungkap Cahyo kepada Republika, Kamis (11/2).

Bagi BPRS, ada ketentuan yang mewajibkan hapus buku pembiayaan baru dapat dilakukan ketika nasabah telah masuk dalam kolektibilitas macet. Asbisindo mengusulkan agar hapus buku dapat dilakukan lebih awal bisa nasabah sudah memenuhi kriteria harus buku meskipun nasabah baru itu dalam kategori lancar atau kurang lancar.

Saat terindikasi macet, umumnya BPRS melakukan pendekatan penyelesaian melalui penyerahan jaminan. Di sisi lain, BPRS juga mendorong agar asuransi pembiayaan untuk end user BPRS bisa segera direalisasikan dengan persyaratan yang lebih mudah.

Dalam waktu dekat kami akan mengadakan rapat koordinasi di Bandung yang salah satunya akan membahas permasalahan tersebut. ''Kami juga berharap pengurus dan pemegang saham BPRS semakin peduli terhadap perkembangang BPRS-nya,'' ujar Direktur BPRS Artha Madani itu.

Meningkatnya rasio NPF BPRS disebabkan faktor internal dan eksternal BPRS. Kondisi ekonomi yang belum stabil menurunkan omzet nasabah-nasabag BPRS terutama nasabah yang memiliki usaha berkaitan dengan pihak lain misalnya sebagai pemasok perusahaan lain yang juga sedang mengalami penurunan produksi. Sementara BPRS yang melayani nasabah dengan segmen pasar pegawai swasta melalui sistem potong gaji, juga mulai mengalami kesulitan dengan adanya PHK perusahaan swasta.

Begitu pula BPRS yang segmen pasarnya para petani komoditas perkebunan seperti kelapa sawit, kopi dan coklat yang ikut terpengaruh penurunan harga dan permintaan komoditas. Dari faktor internal, Cahyo menilai ada kompetensi SDM yang menangani pembiayaan dan kebijakan pembiayaan dari BPRS yang cenderung kurang hati-hati.

Dari data OJK hingga Juni 2015 NPF BPRS mencapai 9,25 persen, cendrung meningkat dari 8,18 persen pada Juni 2014. Total pembiayaan bermasalah per Juni 2015 mencapai nilai Rp 514,402 miliar dari total pembiayaan Rp 5,562 triliun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement