REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi di sejumlah industri elektronik maupun otomotif saat ini tidak akan berdampak langsung pada meningkatnya angka kemiskinan.
Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Suhariyanto menjelaskan, akan ada jeda waktu antara kejadian PHK hingga mendorong peningkatan angka kemiskinan. Di sela jeda itu, kata dia, pemerintah memang harus masuk untuk melakukan langkah pencegahan.
Suhariyanto menyebutkan, faktor terbesar penyebab meningkatnya angka kemiskinan adalah gejolak harga beras. Beras, disebut menyumbang 20 persen terhadap faktor utama di balik meningkatkan angka kemiskinan.
Meski begitu, Suhariyanto mengaku BPS tidak memiliki catatan resmi mengenai angka PHK yang terjadi. Bahkan ia mengaku BPS belum mendapat laporan adanya PHK massal oleh sejumlah perusahaan. BPS, kata dia, hanya sebatas mengambil data angkatan kerja dan itu pun data terbaru awal tahun ini belum bisa diketahui.
Ia menyebutkan, pada rilis terakhir BPS Agustus tahun lalu disebutkan bahwa angkatan kerja Indonesia pada Agustus 2015 sebanyak 122,4 juta orang, berkurang sebanyak 5,9 juta orang dibanding Februari 2015 dan bertambah sebanyak 510 ribu orang dibanding Agustus 2014.
Semantara itu, penduduk bekerja pada Agustus 2015 sebanyak 114,8 juta orang, berkurang 6,0 juta orang dibanding keadaan Februari 2015 dan bertambah 190 ribu orang dibanding keadaan Agustus 2014.
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Agustus 2015 sebesar 6,18 persen meningkat dibanding TPT Februari 2015 (5,81 persen) dan TPT Agustus 2014 (5,94 persen).
"Ada banyak hal yang pengaruhi pengangguran ini. Kalau pertumbuhan ekonomi tidak bagus pasti berpengaruh pada angka pengangguran. Tapi secara teoritis pengangguran berkaitan dengan angka kemiskinan meski tidak langsung. Tapi orang menganggur kan tidak otomatis jadi miskin ya. Ada waktunya. Ada jeda waktu," kata Suhariyanto, Senin (8/2).