REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli menilai rencana pengenaan pajak progresif untuk semua produk berbasis minyak kelapa sawit oleh Perancis sebagai kebijakan yang tidak masuk akal.
"Rencana kebijakan itu menunjukkan kecongkakan luar biasa dan sangat tidak reasonable (beralasan). Kalau Prancis tetap memaksa akan menerapkan pajak progresif terhadap impor CPO tersebut, bisa membahayakan hubungan kedua negara yang telah terjalin sangat baik dan bersahabat sejak kemerdekaan Indonesia," katanya dalam siaran pers pada Rabu (3/2).
Rencana penetapan pajak tersebut terdapat dalam rancangan amandemen Undang-undang No 367 tentang Keanekaragaman Hayati yang diputuskan senat Prancis pada 21 Januari 2016. Dalam RUU tersebut, ditempelkan pajak progresif untuk produksi sawit yang mulai berlaku pada 2017. Rinciannya, pajak sebesar 300 euro per ton pada 2017, 500 euro per ton tahun 2018, dan 700 euro per ton untuk 2019. Pajak itu naik lagi menjadi 900 euro per ton pada 2020. Setelah 2020, pajaknya akan ditetapkan oleh Kementerian Keuangan Perancis.
Khusus untuk minyak kelapa sawit yang digunakan untuk produk makanan, RUU tersebut menetapkan adanya tambahan bea masuk sebesar 3,8 persen. Sedangkan untuk minyak kernel yang digunakan untuk produk makanan akan kena tambahan bea masuk 4,6 persen. Pajak itu tidak ditetapkan pada biji rapa (kanola), bunga matahari, dan kedelai atau minyak nabati yang diproduksi di Prancis.
Rizal yang juga Dewan Pengarah Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) mengatakan amandemen pajak CPO tersebut menunjukkan langkah diskriminatif terhadap produk Indonesia sebagai produsen terbesar sawit.
Hal ini karena, saat ini pajak impor CPO di Prancis sebesar 103 euro per ton. Dengan kenaikan pajak 300 eruo atau sekitar 430 dolar AS per ton, maka dipastikan akan mematikan petani sawit dan produsen CPO Indonesia.
"Sikap sangat tidak bersahabat dari Prancis yang berlebih-lebihan itu jelas dan dengan sengaja beritikad mematikan industri sawit Indonesia," ujarnya.
Rizal menambahkan, rencana tersebut akan mematikan sumber kehidupan 2 juta petani kecil sawit Indonesia dengan area lahan kurang dari 2 hektare, dan 400.000 petani kecil sawit Malaysia. "Untuk diketahui, industri sawit kita memperkerjakan 16 juta orang dan menghasilkan ekspor senilai 19 miliar dolar AS" ungkapnya.
Pajak progresif CPO yang dananya akan masuk ke badan sosial Prancis itu juga dinilai Rizal ironis lantaran 2 juta petani kecil sawit Indonesia harus mensubsidi dana kesejahteraan rakyat Prancis. "Sehubungan dengan itu, Indonesia minta kearifan pemerintah dan parlemen Prancis untuk menghentikan proses amandemen UU nomor 367 tersebut. Pertimbangan ekologi dan lingkungan hidup, tidak boleh digunakan sebagai alat kebijakan proteksionis yang diskriminatif dan tidak fair," kata Rizal.