REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Agenda adaptasi dan pengendalian perubahan iklim jangan hanya melihat dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan saja. Ia juga harus menjangkau kendali penggunaan energi, transportasi, limbah dan sampah, serta industri.
"Harus berimbang jangan hanya membebankan sektor kehutanan, agar pengurangan emisi bisa tercapai tanpa mengorbankan pembangunan nasional," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution dalam acara pembukaan Festival Iklim 2016, Senin (1/2).
Pemerintah hingga kini menetapkan kebijakan yang menyesuaikan agenda pengendalian perubahan iklim. Di antaranya, upaya penurunan emisi dilakukan dengan pengalihan subsidi BBM ke sektor produktif.
Di samping itu, ditetapkan target peningkatan penggunaan energi terbarukan hingga 23 persen dari konsumsi energi nasional hingga 2025.
Pemerintah, lanjut dia, sudah melangkah lebih maju menyeriusi penggunaan energi terbarukan. Buktinya, selang tujuh tahun pasca-UU Energi Baru Terbarukan dibentuk, baru saat ini dibuat aturan pelaksanaannya. Bahkan sudah dialokasikan dana penyangga penggunaan energi terbarukan.
"Kita juga mengatur soal limbah, penerapan one map policy, review izin pengelolaan gambut dan hutan produksi lestari serta mengupayakan perlindungan keanekaragaman hayati laut," tuturnya.
Indonesia merupakan negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Sebab, dua per tiga wilayahnya terdiri dari perairan dan banyak pulau-pulau kecil dan sangat kecil bertebaran.
Sebanyak 60 persen penduduk, kata Darmin, tinggal di pesisir. Di sisi lain, 80 persen bencana yang menimpa Indonesia disebabkan dampak perubahan iklim.
Sebab berkepentingan, Indonesia harus berperan penting dalam mengawal isu lingkungan untuk warga dunia. "Isu lingkungan juga sering digunakan untuk memukul produk Indonesia, makanya kita harus menetapkan agenda agar lebih mendukung kepentingan nasional," ujarnya.