Kamis 31 Dec 2015 20:35 WIB

Perekonomian Global 2016 di Bawah 3,5 Persen

Pembangunan ekonomi Indonesia
Foto: ANTARA
Pembangunan ekonomi Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, PONTIANAK -- Kantor Bank Indonesia perwakilan Kalimantan Barat mengungkapkan pertumbuhan perekonomian global 2016 diprediksi masih berisiko lebih rendah dari proyeksi 3,5 persen.

"Melihat dalam dan luasnya kompleksitas permasalahan saat ini, kita memprediksikan perekonomian global tahun 2016 masih berisiko lebih rendah dari proyeksi 3,5 persen," kata Kepala Kantor Bank Indonesia perwakilan Kalimantan Barat, Dwi Suslamanto di Pontianak, Kamis (31/12).

Dia menjelaskan, sumber risiko perekonomian global disebabkan beberapa faktor. Antara lain, terus melambatnya ekonomi Tiongkok, terus menurunnya harga komoditas, antisipasi kenaikan suku bunga di AS dan ancaman keluarnya modal dari negara berkembang.

Selain itu, Indonesia juga akan dihadapkan dengan tantangan Perekonomian Domestik akibat masih tingginya ketidakpastian global yang dapat mengganggu upaya pemerintah, dalam mendorong perekonomian nasional tumbuh lebih cepat.

"Untuk itu, kita perlu mengambil langkah perbaikan di dua sektor, yaitu sektor riil dan sektor keuangan. Di sektor riil, kita saat ini tengah menghadapi proses de-industrialisasi, pangsa industri pengolahan terhadap PDB terus turun, dari 29 persen pada tahun 2001 menjadi 23,7 persen pada tahun 2014," tuturnya.

Dalam mata rantai pasok industri pengolahan kita, titik terlemah berada di industri hulu. Ketiadaan industri-industri seperti logam dasar, kimia dasar, dan pengilangan minyak bumi, yang dapat memasok 'industri antara dan hilir', menyebabkan hampir sebagian besar bahan baku harus kita impor.

"Ini menyebabkan industri hilir kita, menjadi rentan terhadap depresiasi kurs. Sementara di sektor riil kita juga perlu membenahi komposisi ekspor kita, agar tidak bergantung pada ekspor sumber daya alam (SDA) mentah bernilai tambah rendah," katanya.

Di sektor keuangan, perlu segera merumuskan strategi untuk memperluas basis pembiayaan jangka panjang. "Hal itu perlu dilakukan, agar sumber pembiayaan ekonomi tidak hanya terkonsentrasi pada kredit perbankan, tetapi juga tersebar pada instrument pasar modal, terutama obligasi korporasi dan saham," kata Dwi.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement