REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konsep pembentukan agregator atau badan penyangga gas dinilai tidak mendesak dilakukan karena yang menjadi prioritas adalah monopoli secara alamiah seperti diamanatkan Pasal 33 UUD 1945.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara mengatakan monopoli bisa dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai kepanjangan tangan negara. Ia mengatakan jika saat ini terdapat dua BUMN yang bergerak di sektor gas yakni Pertamina melalui anak perusahaannya Pertagas, dan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) maka pemerintah yang harus mengatur dan menjadikannya bersinergi.
"Misalnya, pemerintah menyerahkan sahamnya yang berada di PGN kepada Pertamina, sehingga Pertamina menjadi induk, dan kemudian Pertamina sebagai induk melakukan merger PGN dengan Pertagas," kata Marwan di Jakarta, Rabu (16/12).
Mengenai bentuk sinergi, Marwan juga setuju bahwa yang bisa dilakukan adalah dengan cara akses terbuka (open access). Dengan demikian, antara PGN dan Pertagas, anak perusahaan Pertamina, bisa saling memanfaatkan pipa yang sudah ada. "Sinergikan saja keduanya. Karena keduanya berada di bawah kendali pemerintah, sehingga seharusnya lebih mudah," katanya.
Namun Marwan mengingatkan jangan sampai ada penumpang gelap yang memanfaatkan open access, yakni, para trader yang hanya bermodalkan kertas dan sama sekali tidak memiliki infrastruktur.
Direktur Pengkajian, Kebijakan, dan Advokasi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Taufik Ahmad saat berbicara pada seminar "Tata Kelola Gas Nasional", Selasa (15/12), mengatakan bahwa open access memang merupakan bentuk sinergi paling ideal antara Pertagas dan PGN. Selain meningkatkan efisiensi, open access juga dinilai akan menstimulasi percepatan jaringan. "Open access tidak mematikan semangat untuk membangun jaringan. Bahkan, open access akan menstimulasi untuk pembangunan jaringan di tempat lain, karena adanya kepastian sambungan," katanya.