Kamis 03 Dec 2015 16:52 WIB

Komisi VI Dorong Pemerintah Pusat Selesaikan Problem PT Inalum

A man operates a pressing machine in PT Inalum, North Sumatra. (illustration)
Foto: Antara/Irsan Mulyadi
A man operates a pressing machine in PT Inalum, North Sumatra. (illustration)

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Ketua Komisi VI DPR RI Hafisz Tohir meminta pemerintah pusat untuk mencarikan solusi persoalan pajak air permukaan (PAP) PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). Pasalnya, hingga saat ini, perusahaan pelat merah tersebut masih tetap merasa keberatan dengan tingginya PAP.

 

“Sepanjang ini Inalum cukup moncer dalam hal mencetak laba. Saya kira pemerintah pusat dan kementerian terkait serta Pemda Sumut yang harus clear-kan,” kata Hafisz dalam rilisnya kepada Republika.co.id, Kamis (3/12).

Lantaran Pemerintah Provinsi Sumatra Utara menagih pajak air permukaan (PAP) terhadap Inalum berdasarkan tarif industri progresif sebesar Rp 1.444/m3. Sehingga pajak selama setahun PT Inalum (Asahan II) mencapai Rp 500 miliar lebih.

PT Inalum pun meminta Pemprov Sumut untuk mengganti beban pajaknya berdasarkan tarif pembangkit listrik, bukan tarif industri.

 

Hafisz menyayangkan persoalan tersebut bisa berlarut-larut. Padahal semestinya bisa cepat diatasi karena keduanya sama-sama bagian dari pemerintahan.

 

“Jadi ini kan urusan pemerintah dengan pemerintah (BUMN). Alangkah baiknya segera diselesaikan,” jelasnya.

 

Komisi VI pun menyarankan agar ada perbaikan aturan birokrasi dalam industri dan dunia usaha. Tujuannya agar tercapai pertumbuhan ekonomi sesuai target.

Pakar dan praktisi hukum Prof Bismar Nasution menjelaskan, dalam Pasal 9 ayat (3) Peraturan Gubernur Sumatra Utara ditafsirkan hanya untuk pembangkit listrik PLN (Persero).

Maka, terhadap PT. Inalum (Persero) dikenakan harga dasar Air Permukaan berdasarkan kubikasi air mengalir untuk golongan industri berdasarkan Lampiran I dan Lampiran II Pergubsu, sehingga jumlah pajak terhutang PT. Inalum (Persero) menjadi sangat besar karena dihitung berdasarkan kubikasi air mengalir.

“Hal inilah yang menjadi kurang adil bagi PT. Inalum (Persero) yang pada kenyataannya menggunakan air permukaan yang cukup besar dalam rangka menjalankan PLTA,” katanya.

Menurut Prof. Bismar, secara normatif dapat diterima benar bahwa jika Pasal 9 ayat (3) Pergubsu tersebut tidak dapat diterapkan pada PT. Inalum (Persero), maka yang berlaku adalah perhitungan berdasarkan Lampiran I dan Lampiran II Pergubsu.

Sebab dalam Pergubsu tersebut tidak terdapat alternatif lain selain pengenaan perhitungan khusus berdasarkan Pasal 9 ayat (3) atau berdasarkan Lampiran I dan Lampiran II.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement