Senin 30 Nov 2015 04:11 WIB

Mengapa Kebijakan Pengembangan Energi Terbarukan Semakin Senyap?

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
Energi Terbarukan
Foto: energy.gov
Energi Terbarukan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pemerintah diminta untuk konsisten dalam menelurkan kebijakan terkait pengembangan energi baru terbarukan. Kalau tidak, maka pengembangan energi baru terbarukan dinilai akan mandeg di saat laju produksi energi fosil tak mampu menyamai laju konsumsi masyarakat akan BBM yang meningkat delapan persen per tahun.

Anggota Dewan Energi Nasional Renaldy Dalimi mengambil contoh, program energi baru terbarukan sebetulnya sudah dimulai sejak tahun 1980-an, dimulai dengan proyek pembangkit listrik tenaga matahari. Namun perkembangannya tidak pesat. Belum lagi, Indonesia sebetulnya juga memiliki tim nasional yang khusus mengurusi bahan bakar nabati (BBN). Renaldy menyebut, sudah lama petani pohon jarak diminta menanam jarak dalam jumlah besar. Namun, sayangnya, ketika panen pemerintah tidak menyediakan pasar untuk menampung hasil panen.

"Ini tidak konsisten. Banyak langkah konseptual benar tapi tidak konsisten.  Kita punya prioritas, penggunaan EBT," jelas Renaldy, Ahad (29/11).

Renaldy juga mengaku telah mengunjungi 20 di antara 1.000 desa yang digadang-gadang mandiri energi. Dari survei kecilnya, dia temukan 95 persen dari 20 desa tersebut gagal mengusung predikat mandiri energi. Salah satu alasannya, ketidakkonsistenan pemerintah tadi.

"Sudah dikasih mesin minyak jarak untuk mengilang minyak, sudah dikasih traktor untuk olah tanah tapi begitu pusat serahkan ke daerah, daerah tidak bisa menjalankan itu. Pusat selesai, daerah tidak siap," kata Renaldy.

Renaldy menyebut, salah satu kekurangan yang dimiliki oleh pemerintah adalah tidak adanya transfer data dari daerah ke pusat atau sebaliknya. Dia mengambil contoh, pemerintah mengerjakan sejumlah traktor ke daerah untuk mengolah lahan singkong yang bisa dijadikan sumber bahan bakar nabati. Pasalnya, lanjut Renaldy, pusat tidak mengetahui apabila daerah tersebut memiliki kontur berbukit yang tidak cocok diolah dengan traktor. Hasilnya, kata dia, traktor lantas tak bisa digunakan.

"Alasannya itu proyek pusat. Daerah hanya diserahi pada saat dia sudah selesai. Ada yang dikasih kincir angin, turbinnya tidak mutar karena kapasitas turbin tidak cocok dengan kecepatan angin," kata Renaldy.

Renaldy menambahkan, padahal dana yang dikucurkan pemerintah tergolong besar untuk proyek energi baru terbarukan di daerah. Dia mendesak pemerintah untuk lebih mempercayakan dana pengembangan kepada daerah. Menurutnya, dengan demikian daerah bisa menyesuaikannya dengan kebutuhan teknis setempat.

"Percayakanlah pada daerah kalau memang dana itu ada. Jangan pusat yang bangun, setelah selesai diberikan daerah, transfernya itu seringkali bermasalah," kata Renaldy.

Sementara itu, Staf Ahli Menteri PPN/Bappenas Bambang Prijambodo menyadari kebijakan pengembangan energi baru terbarukan saat ini memang belum sempurna, bahkan ada inkonsistensi dari pemerintah.

"Dulu energi terbarukan jadi satu pilihan saat harga minyak tinggi. Sekarang dihadapkan pada harga minyak yang rendah. Ini yang berada di hulu membuat pengaruh konsistensi kebijakan ke depan," kata Bambang.

Bambang menilai, satu kunci penting dalam pengembangan energi baru terbarukan adanya subsidi. Ketika harga minyak dunia anjlok seperti saat ini, harga produksi relatif lebih mahal sehingga perlu ada subsidi untuk bisa bersaing dengan energi fosil.

"Kalau tidak, beda terlalu besar, maka luluhlantakkan rencana energi terbarukan. Anggaran APBN banyak dibutuhkan," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement