REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah. Hanya saja kekayaan yang ada tidak diolah menjadi barang, justru malah di ekspor ke luar negeri.
Setelah bahan mentah tersebut menjadi barang, Indonesia mengimpornya kembali. Dengan demikian dapat dikatakan Indonesia menjadi kehilangan nilai tambah atau value added.
Indonesia terlihat menjadi negara negara pengekspor bahan mentah dan justru pengimpor dari barang yang berasal dari negara-negara tujuan komoditi ekspor.
Melalui keterangan yang diterima Republika, Rabu (18/11), salah satu negara yang yang menjadi pengimpor berbagai bahan jadi adalah Cina.
Karena besarnya nilai impor, maka terjadi defisit neraca perdagangan antara Indonesia dengan negara-negara lain yang semakin lama semakin besar.
Dalam rangka melihat fenomena ekonomi tersebut, Fakultas Ekonomi Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) bersama Pusat Bahasa Mandarin UAI mengadakan Seminar Internasional dengan tema “Economic and Financial Relations Between Indonesia and China”.
Dengan pembicara Direktur Bank Of China di Indonesia Zhang Min, Market Integration Directorate ASEAN Economic Community Department Ahmad Syaukat, Dekan Fakultas Eknomi, UAI, Prof. Dr. Ir. Ahmad Muslim., M.Sc, danAsisten Direktur dari Departemen Riset Kebanksentralan Bank Indonesia Shinta R. I. Soekro.
Dalam seminar tersebut dibahas seputar prospek kerjasama ekonomi dan keuangan antara Indonesia dan Cina. Dipaparkan pula perlunya Indonesia meningkatkan volume dan nilai ekspornya ke negara-negara tradisional maupun ke negara-negara baru lainya, termasuk ke negara Cina yang jumlah penduduknya sangat besar.