REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih menyebut, data produksi dan konsumsi beras berikut mekanisme penghitungannya belum jelas. Sayangnya, data yang belum jelas tersebut kerap digunakan sebagai dasar kebijakan, bahkan rentan dipakai alat politik.
"Sitasi ini diperparah dengan sikap pemerintah yang tidak kunjung memberi perhatian serius untuk perubahan kelembagaan," kata dia merespons penurunan Angka Ramalan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk produksi gabah yang mengalami penurunan dibandingkan Aram I.
Padahal selama ini pemerintah melakukan beragam upaya khusus berikut anggaran yang besar untuk menggenjot produksi padi.
Jika alasan prediksi penurunan produksi padi disebabkan El Nino, itu tidak bisa menjadi alasan. Sebab, kedayangan El Nino sudah lama diperingatkan oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Antisipasi oleh pemerintah tidak cukup hanya dengan pembangunan irigasi dan penyediaan pompa saja.
Lebih dari itu, pemerintah harusnya mampu menggerakkan rakyat untuk mengkonsumsi makanan pokok selain dari beras alias diversifikasi. Sebab, ketika produksi beras erganggu di kpmusim kemarau panjang, ada pisang, sinhkong dan komoditas lainnya yang tidak mengalami gangguan produksi.
Pemerintah Indonesia, lanjut dia, harus juga aktif membangun cadangam pangan di Asia Tenggara melalui cadangan beras darurat. "Jadi saat ini jangan terus impor beras, beras masih ada seperti yang disebutkan menteri pertanian," katanya.
Oleh karena itu, Setikat Tani Indonesia menekankan tiga hal yang mesti diperhatikan pemerintah. Di antaranya tidak menggantungkan makanan pokok masyarakat pada beras saja, memperluas lahan sawah dengan mengkonversi lahan perkebunan sawit atau karet ke tanaman pangan, serta tidak melakukan impor beras dan pangan tapi memaksimalkan produksi dalam negeri.