REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Posisi pemerintah Indonesia atas PT Freeport diyakini lebih kuat dibanding dalam kontrak terdahulu. Berdasarkan kontrak karya yang ditandatangani pemerintah dan Freeport pada 1991, posisi Indonesia cukup lemah mengingat perusahaan asal Amerika Serikat tersebut bisa meminta perpanjangan kontrak kapan saja dan pemerintah tidak boleh menghalangi itu.
Kalau pemerintah menolak, maka Indonesia bisa dibawa ke arbitrase. “Tapi sekarang Freeport dalam posisi mengikuti Indonesia,” kata juru bicara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rudi Gobel dalam diskusi bertajuk "Mengapa Ribut Soal Freeport" di Jakarta, Sabtu (17/10).
Ada 11 tuntutan pemerintah daerah Papua ke Freeport, di antaranya kewajibkan penggunaaan jasa perbankan nasional Bank Papua dan mengalihkan pengelolaan Bandara Moses Kilangin kepada pemda. Kemudian pemerintah pusat pun menuntut pengurangan luas wilayah dari 212.950 hektare (ha) menjadi 90.360 ha, atau 58 persen dari total wilayah dikembalikan ke negara. “Itu semua dituruti,” ujarnya.
Hal lebih penting yakni elemen royalti yang sudah disetujui Freeport bahkan sebelum perpanjangan kontrak dilakukan. “Royalti sampai empat persen untuk tembaga,” kata Rudi.
Saat ini banyak pihak yang mengkritik angka royalti yang diperoleh negara dari Freeport sangat kecil. Namun, kata Rudi, perlu diingat bahwa komponen penerimaan negara bukan hanya berasal dari royalti tapi juga dari pajak dan daya dorong ekonomi.
Dia menyebut dalam kontrak ke depan, posisi Freeport lebih lunak. Diantaranya terkait industri dalam negeri. Ada tujuh BUMN dalam negeri yang akan melakukan perjanjian (MoU) dngan Freeport. “Di antaranya Pertamina untuk memasok BBM dan Dahana untuk bahan peledak,” ujarnya.