REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Kordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli menilai salah satu cara terbaik untuk melakukan negosiasi dengan PT Freeport Indonesia (PTFI) terkait peningkatan royalti adalah dengan tetap berpegang pada kebijakan yang berpihak pada rakyat.
Dia menilai, dengan kondisi yang serba kepepet seperti saat ini, seharusnya Freeport mau menuruti permintaan pemerintah untuk menaikkan royalti menjadi enam persen hingga tujuh persen seperti usulannya.
Menurut Rizal, saat ini merupakan momentum tepat untuk pemerintah meningkatkan keuntungan dari PTFI. Hal ini karena, perusahaan tambang asal AS itu tengah berada dalam posisi yang terdesak.
"Nah freeport ini, saat ini kepepet. Nilai valuasi sahamnya turun. Mereka juga habis merugi karena investasi 15 miliar dolar di Teluk Meksiko Dry Hole dan duit hilang begitu saja," kata Rizal dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR, Selasa (13/10).
Rizal menyebutkan, saat ini Freeport sedang dalam kondisi yang kepepet dan andalan satu-satunya adalah Indonesia. Untuk itu, sebelum perpanjangan kontrak dilakukan, Rizal ingin adanya kesepakatan mengenai tiga poin. Ketiga poin tersebut adalah peningkatan royalti dari satu persen menjadi 6-7 persen, mengolah limbah sesuai aturan, dan mempercepat proses divestasi saham.
"Dan seharusnya kita ada momentum untuk mengubah sumber daya mineral yang tadinya menguntungkan menjadi lebih menguntungkan karena semua berkepentingan," ungkapnya.
Menurut Rizal, saat ini, aturan yang berlaku adalah perpanjangan kontrak dilakukan dua tahun sebelum kontrak berakhir sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) 77 Tahun 2014.
"Tetapi mereka tentu lobi dengan segala cara agar bisa dilakukan 10 tahun. Alasannya, tipikal untuk investasi segala macam. Dalam praktiknya mereka ingin saham naik," ujar dia.
Dia menjelaskan, di lantai bursa saham AS, perpanjangan kontrak di Indonesia menjadi sentimen pasar yang sangat berpengaruh. Untuk itu, PTFI tentu membutuhkan kepastian investasi di Indonesia.
"Maksud saya semakin mepet mereka semakin tinggi bargaining pemerintah. Akan tetapi yang kami inginkan adalah bayar royalti enam persen sampai tujuh persen. Harus ada term yang berubah. Kalau awal orde baru itu mungkin. Saat itu yang terjadi mohon maaf pejabatnya disogok. Kami tidak ingin terulang lagi. Ini momentum untuk menulis kembali sejarah," ungkapnya.