REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemeritah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mewajibkan PT Freeport Indonesia untuk melakukan divestasi saham, meski besaran angkanya masih belum diputuskan.
Dalam beleid Peraturan Menteri ESDM yang sedang digodok, nantinya juga akan diatur pihak mana saja yang akan berhak mengambil alih saham Freeport hasil divestasi. Termasuk juga, apakah akan dilakukan penawaran saham perdana ke publik (IPO) atau tidak.
Ditanya soal ini, VP Corporate Communication Freeport Indonesia Riza Pratama mengaku bahwa perusahaan yang berbasis di AS ini lebih memilih skema IPO (initial public offering) atau menawarkan sahamnya ke publik. Opsi ini sebetulnya menjadi urutan terakhir dalam proses divestasi saham Freeport.
Urutannya, pertama Freeport harus menawarkan sahamnya kepada Pemerintah. Bila pemerintah tidak mengambilnya, maka opsi akan jatuh kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Opsi ketiga adalah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Baru lah terakhir saham bisa ditawarkan kepada swasta. Hanya saja, untuk opsi IPO, belum ada landasan hukum bagi Freeport untuk melakukannya.
"Landasan hukum belum ada untuk IPO, tapi kami lebih memilih IPO karena lebih transparan dan akuntabel," ujar Riza, Senin (12/10). Berdasarkan jadwal tanya dirilis pemerintah, 14 Oktober mendatang Freeport sudah harus menawarkan sahamnya.