REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagyo menilai penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis solar tidak begitu jauh berdampak pada masyarakat.
Pasalnya, penurunan harga solar hanya akan dirasakan oleh mereka pengguna solar, dalam hal ini industri dan masyarakat yang memiliki kendaraan bermesin diesel. Selebihnya, harga bahan pokok juga tidak ikut turun.
Agus melanjutkan, hal sebaliknya terjadi saat harga BBM naik. Begitu BBM naik, harga bahan pokok otomatis ikut naik.
"Harga energi ini bisa naik turun seperti sarung. Karena harga turun tidak ada manfaat bagi masyarakat kecuali pemilik kendaraan. Nah saat naik harga, masyarakat kena dua kali. Sistem turun naik ini di Indonesia belum pas," jelas Agus dalam diskusi Energi Kita, Ahad (11/10).
Apalagi saat ini yang turun solar saja (di samping avtur), tanpa premium yang massal dipakai. Sementara itu, VP Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Wianda Pusponegoro beranggapan, kebijakan pemerintah untuk menurunkan harga BBM melalui paket kebijakan ekonomi jilid III sudah tepat sasaran.
Tepat sasaran, lanjutnya, berarti sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekaligus kemampuan korporasi dalam mengakomodir kebijakan pemerintah.
Wianda mengaku, sebelum paket kebijakan ekonomi diumumkan, pihaknya telah lebih dulu menurunkan beberapa jenis BBM. Salah satunya dengan menurunkan harga elpiji, dengan penurunan Rp 6.700 pertabungnya. Tak hanya itu, per 1 Oktober lalu harga avtur sudah diturunkan 44,1 sen dolar AS untuk menggairahkan lagi iklim persaingan antar maskapai.
"Kami melihat ke depan solar lebih tepat diambil karena hampir 60 persen dari 104 juta kendaraan memang untuk angkutan truk dan barang, sedangkan pakai ssolar berbanding terbalik dengan premium di mana 43 persen oleh mobil pribadi. Tentu pilihan penyesuaian BBM ini adalah pilihan tepat," lanjut Wianda.