Rabu 07 Oct 2015 19:16 WIB

Cifor: Pemerintah Perlu Evaluasi Izin Perkebunan Sawit

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pekerja memanen tandan buah segar kelapa sawit.  (ilustrasi)
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Pekerja memanen tandan buah segar kelapa sawit. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- The Center for International Forestry Research (Cifor) memandang pemerintah perlu melakukan evaluasi semua izin perkebunan kelapa sawit. Ini untuk menjamin keberlanjutan ekspansi perkebunan yang sejajar dengan prinsip keberlanjutan.

Dalam publikasi ilmiah Cifor 2015 berjudul 'Reducing Green House Gas Emissions from Oil Palm in Indonesia,' peneliti Cifor Zachary R Anderson mencontohkan 80 persen luas daerah di Kalimantan Timur masuk ke dalam konsesi sawit. Sekitar separuhnya terletak di hutan rawa. Jika lahan ini seluruhnya dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit, maka akan melepaskan 206 metrik ton CO2 ke atmosfir.

"Jika ini terjadi, kami menyimpulkan bahwa Indonesia tak akan mampu menyelaraskan konsep industri hijau dengan pertumbuhan ekonomi nasional, kecuali lahan investasi diarahkan untuk memperlambat perluasan perkebunan di lahan hutan dan gambut," kata pria yang juga akademisi di Departemen Geografi dan Perencanaan Universitas Toronto, Rabu (7/10).

Ini berarti lokasi konsesi perlu ditinjau kembali berdasarkan kompatibilitasnya. Bagi yang melanggar, lahannya harus direlokasi dan izinnya dicabut.

Indonesia adalah emitor terbesar kelima di dunia dan sebagian besar emisi itu disebabkan deforestasi, degradasi hutan, dan perubahan penggunaan lahan, termasuk praktik pembakaran hutan. Di sisi lain, Indonesia berusaha mempertahankan posisi sebagai produsen kepala sawit terbesar di dunia, namun tetap ingin berbarengan dengan pertumbuhan ekonomi rendah karbon.

Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebelumnya berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca 26-40 persen pada 2020 mendatang. Menggabungkan target pertumbuhan ekonomi dengan pengurangan emisi GRK, kata Anderson kurang realistis.

Kemauan politik untuk meninjau izin perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Timur tampaknya ada. Gubernur Kalimantan Timur pada awal 2013 menyatakan moratorium penerbitan izin kelapa sawit. Pemerintah provnsi berencana mengaudit dan meninjau izin yang sudah ada dan menentukan apakah izin itu diterbitkan dengan benar sesuai hukum berlaku.

Peneliti Cifor lainnya, Krystof Obidzinky mencontohkan 72 persen deforestasi di Berau sepanjang 2000-2012 terdeteksi di dalam lahan berstatus Areal Penggunaan Lain (APL). Pertanyaannya, apakah pemerintah bersedia mencabut izin di kawasan hutan dan rawa?

"Seringkali banyak terjebak dalam ikatan antara pemerintah dan pelaku usaha, baik di tingkat nasional maupun lokal. Sektor swasta pun sejauh ini cenderung menentang misi pengurangan emisi dan melobi moratorium yang sudah ditetapkan," ujarnya.

Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyebutkan bahwa 18,97 persen dari total pendapatan ekspor Indonesia berasal dari kelapa sawit. Oleh sebabnya, pemerintah pusat berencana meningkatkan produksi minyak sawit mentah menjadi 40 juta ton per tahun pada 2020.

Kalimantan Timur merupakan provinsi terbesar kedua di Indonesia. Provinsi ini memiliki lahan hutan nan luas namun kini mengalami deforestasi hingga 500 ribu hektare (ha) per tahun. Karena ketergantungan pada lahan berbasis pengembangan, Kalimantan Timur pernah menjadi emitor gas rumah kaca terbesar ketiga di Indonesia dengan perkiraan emisi 251 metrik ton CO2 pada 2010.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement