REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Bidang Organisasi Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Anggawira menilai banyak sisi negatif yang dapat timbul ketika tingkat konsumsi minuman beralkohol meningkat.
"Dari analisis ekonomi, minuman keras merupakan barang konsumtif yang akan habis dalam sekali pakai. Banyak sisi negatif yang ditimbulkan ketika konsumsi alkohol naik," kata Anggawira dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Ahad (27/9).
Apalagi, ujar dia, bila melihat latar belakang Indonesia yang merupakan negara dengan komunitas Muslim. Sehingga rasanya tidak etis jika minuman keras dijadikan alat untuk meningkatkan daya beli dalam perekonomian.
Rencana kebijakan itu, lanjutnya, dinilai tidak akan terlalu berdampak signifikan terhadap perekonomian, justru masyarakat lebih mengkritisi tentang dampak negatif yang ditimbulkan dari pelonggaran tersebut.
"Alkohol selama ini menjadi penyebab beberapa tindak kriminal karena pengaruhnya yang menurunkan tingkat kesadaran. Alkohol merupakan depresan yang menekan kinerja sistem syaraf pusat," kata Doktor Bidang Ilmu Manajemen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu.
Ia juga mengingatkan bahwa efek jangka panjang yang dapat muncul karena konsumsi alkohol secara berlebihan adalah kerusakan ginjal, jantung, hati, mata, sistem pencernaan, sistem reproduksi, kulit, tulang, dan terakhir otak dan sistem syaraf.
Anggawira mengungkapkan, hasil riset terbaru WHO menunjukkan konsumsi di atas 15 liter alkohol murni per tahun, memicu munculnya lebih dari 200 penyakit kronis di antaranya kanker dan sirosis hati.
Sebelumnya, Aliansi Pengusaha Minuman Beralkohol Indonesia (APMBI) mendukung rencana pemerintah menciptakan peraturan yang komprehensif di bidang industri minuman beralkohol untuk menciptakan kepastian usaha dan investasi serta mencegah penyalahgunaan konsumsi.