REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli meminta penerapan sistem token pulsa listrik dikaji lantaran ketersediaan yang minim dan harga yang yang lebih mahal karena biaya administrasi. "Saat mereka beli pulsa Rp 100 ribu, listriknya hanya Rp 73 ribu. Kejam sekali itu 27 persen disedot oleh provider yang setengah mafia," katanya di Jakarta, Senin (7/9).
Mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas Faisal Basri melalui blog Faisalbasri01.wordpress.com menepis tudingan itu. Bahkan ia menjabarkan perhitungan sebenarnya dari kata-kata Rizal Ramli yang menyebut Rp 73 ribu.
Ia menyebut tarif listrik 1.300 VA untuk golongan R1-1.300 VA Rp 1.352 per kWh. "Jika pelanggan golongan R1-1.300 VA membeli token (prabayar) Rp 100 ribu, berapa kWh yang didapat? Pelanggan harus membayar ongkos administrasi bank, kalau menggunakan (Bank) BCA besarnya Rp 3 ribu Jadi sisa uang untuk membeli listrik Rp 97 ribu," tutur dia.
Transaksi di bawah Rp 300 ribu tidak kena bea meterai.Pelanggan juga harus membayar pajak penerangan jalan (PPJ) sebesar 2,4 persen (untuk Jakarta) dari jumlah kWh yang dibayar. Jadi PLN hanya menerima Rp 97.000/1,024 = Rp 94.726.
Jumlah kWh yang didapat pelanggan = Rp 94.726/Rp 1.352 = 70 kWh. Jadi uang pelanggan hanya susut 5,3 persen untuk biaya administrasi bank dan PPJ, bukan 27 persen seperti yang ditengarai oleh Pak Menko disedot mafia.
"Dari hitung-hitungan di atas, agaknya tak ada pihak lain (mafia atau setengah mafia) yang menikmati uang pelanggan prabayar. Anehnya, mengapa Dirjen Kelistrikan dan Dirut PLN yang hadir pada pertemuan dengan Pak Menko diam saja?," ujar dia.