REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pasar keuangan di Indonesia disebut masih jauh untuk bisa dikatakan efisien dan dalam. Pasar keuangan yang tidak likuid efisien dan dangkal ini membuatnya kurang kuat dalam merespon tekanan dari faktor internal dan eksternal.
"Ini pendapat pribadi saya bukan mewakili Bank Indonesia (BI), ini erat kaitannya dengan krisis 1997-1998, kita lalu banyak alami krisis, termasuk krisis minyak 2005 dan sekarang kita alami satu tekanan besar pada pasar valas kita, kita harus bisa ambil pelajaran," ujar Direktur Program Pendalaman Pasar Keuangan Bank Indonesia (BI), Edi Susianto, dalam Seminar Internasional tentang Pendalaman Sektor Keuangan, di Jakarta, Senin (7/9).
Pasar modal misalnya, ia menjelaskan saat ini kondisinya tidak seimbang. Ketidakseimbangan ini terjadi antara suplai dan demand. Saat ini pasar cenderung memiliki nett demand dan kekurangan suplai. Karena tidak berimbang, pasar pun masih rentan terhadap guncangan.
"Kami berencana mengimbangi pasar valas. Bukan hanya seimbangkan sisi permintaan tapi juga supplay. Ini tantangan besar. Maka butuh harmonisasi dan kerja sama antar otoritas terkait, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Pejamin Simpanan (LPS), dan BI," tutur Edi.
Di pasar uang, pihaknya juga melihat transaksi uang didominasi transaksi antar bank yang tidak aman. Transaksi yang aman atau dengan Repurchase Agreement (REPO) saat ini terhitung hanya dilakukan oleh 15-20 bank.
"Jadi masih sedikit yang mau membangun transaksi REPO," tambah Edi.
Sementara, kata dia, pasar modal juga terlalu didominasi dengan saham. Sekitar 80 persen bursa efek domestik didominasi oleh spot market. Padahal spot market di Indonesia sangat rentan terhadap goncangan faktor internal dan eksternal.
"Volume pasar juga relatif rendah, pasar juga sangat tersegmentasi, ini masalah terbesar di bursa efek," lanjutnya.
Di sini, ia melihat pentingnya negara untuk memiliki keuangan yang mendalam. Pendalaman sistem keuangan, ia tegaskan, merupakan kepentingan nasional. Dalam Undang-Undang Bank Indonesia (BI) pun telah diatur untuk mencapai kestabilan moneter harus didukung sistem pembayaran yang efisien, likuid, dan dalam.
"Maka BI pun concern pada finansial deepening," tambahnya
Untuk mencapai itu syaratnya kata Edi, harus ada stabilitas rupiah dan pembangunan instrumen keuangan, termasuk syariah. Pihaknya sekali lagi juga menekankan pentingnya kerja sama dengan institusi lain seperti OJK, LPS, juga pemerintah.
"Kita tahu pasar uang syariah belum berkembang signifikan, masih sangat rendah porsinya, dan instrumen hedging syariah juga belum berkembang, banyak PR kita," lanjut dia.