REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengkritik pemerintah yang cenderung mengabaikan sektor riil. Dalam menghadapi pelemahan rupiah, pemerintah dinilai hanya mempertimbangkan sektor makro ekonomi.
Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan pemerintah terlalu percaya diri dengan mengatakan uang negara masih cukup banyak. Menurut dia, itu adalah uang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang penyerapannya baru 46 persen bahkan di tingkat kementerian baru 26 persen. "Itu uang basi, tinggal empat bulan lagi APBN selesai. Tidak masuk akal kalau perbaikan mengandalkan uang ini," ujarnya kepada ROL, baru-baru ini.
Hingga kini pemerintah masih bertumbu pada pengeluaran dari APBN dan APBD (government expenditure). Padahal, kata Iqbal, sektor riil tidak bergantung pada semua itu melainkan pada pasar. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah harus difokuskan pada upaya dinamisasi atau menghidupkan pasar misalnya dengan mengurangi beban biaya untuk para pelaku usaha.
Secara bersamaan, pemerintah sepatutnya menjaga daya beli masyarakat yang banyak bekerja sebagai buruh. Menurut dia, kenaikan upah layak mungkin menjadi salah satu cara menjaga daya beli ini. "Kaum buruh optimistis bahwa konsumsi adalah salah satu cara untuk meningkatkan kembali pertumbuhan ekonomi sepanjang harga dolar AS dijaga," ucap Iqbal.
Pemerintah tidak memiliki kewenangan terhadap harga dolar AS, tapi bisa ambil andil menentukan seberapa besar daya beli masyarakat. "Kalau tidak ada kenaikan upah layak, konsumsi rendah dan ekonomi makin melambat," ujarnya.
Maka itu, pihaknya menginginkan agar pemerintah mempertimbangkan kenaikan upah di posisi layak (bukan berarti tinggi). Jika daya beli meningkat, otomatis konsumsi ikut naik, dan pertumbuhan ekonomi mampu merangkak naik. Di sisi moneter, pemerintah juga harus berupaya menjaga nilai tukar rupiah terhadap dolar AS agar tidak terlalu ambruk.