REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Peraturan Menteri Keuangan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 158/PMK.010/2015 tentang Kriteria Jasa Kesenian dan Hiburan yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai dipandang belum jelas tujuannya. Hal ini mengingat kondisi perekonomian Indonesia sangat membutuhkan pemasukan yang bisa didapat dari pajak.
“Saya tidak tahu ini arahnya kemana, karena kok yang dibebaskan adalah pajak pertambahan nilai (PPN) dari hiburan,” ucap anggota Komisi XI DPR Fraksi Gerindra Biem Benyamin saat dihubungi ROL, Jumat (21/8). Di satu sisi, negara memerlukan pendapatan dari pajak. Namun di sisi lain negara memang juga tidak bisa terus membebani masyarakat mengingat kondisi ekonomi yang sedang sulit. Pajak dari sektor ini tidaklah besar.
Pemerintah diharapkan mampu menggenjot sektor pariwisata dengan nilai tukar rupiah yang lemah seperti sekarang, wisatawan luar negeri akan berbondong masuk ke Indonesia. “Harusnya negara bisa dapat income yang besar dari pajak hiburan ini,” kata Biem.
Saat ini dolar AS sangat menguat terhadap rupiah. Sayangnya, kesempatan ini tidak bisa dimanfaatkan oleh kegiatan ekspor. Ekspor Indonesia, kata Biem, masih lemah bahkan dibandingkan tahun-tahun lalu. Cara yang lebih baik ialah melalui sektor pariwisata. “Tapi kenapa dibebaskan pajaknya hanya untuk bioskop, diskotek, dan kesenian. Ini maksud arahnya kemana,” ucapnya. Padahal masih banyak yang bisa dimanfaatkan pemerintah dari sektor pariwisata seperti misalnya fiskal dan perhotelan.
Untuk menarik wisatawan asing masuk ke Indonesia tidak cukup hanya dengan mengandalkan nilai tukar dolar AS. Pemerintah perlu menyediakan infrastruktur memadai. Pasalnya jika infrastruktur tidak mendukung, maka wisatawan asing enggan melancong ke dalam negeri. “Mereka pasti menginginkan infrastruktur yang baik, keamanan, kenyamanan, dan stabilitas politik yang baik menjadi pertimbangan mereka,” kata Biem.