Rabu 12 Aug 2015 19:50 WIB

Reshuffle Kabinet Dinilai tak Membantu Perbaikan Ekonomi

Rep: C14/ Red: Ilham
 Presiden Joko Widodo melantik menteri kabinet baru hasil reshuffle di Istana Negara, Jakarta, Rabu (12/8).   (Republika/Edwin Dwi Putranto)
Presiden Joko Widodo melantik menteri kabinet baru hasil reshuffle di Istana Negara, Jakarta, Rabu (12/8). (Republika/Edwin Dwi Putranto)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bongkar pasang Kabinet Kerja dinilai tak akan menolong Indonesia untuk keluar dari perlemahan ekonomi. Pengamat ekonomi, Ichsanuddin Noorsy mengatakan, hal itu lantaran reshuffle belum tentu memperbaiki kebijakan.

Bahkan, dia menegaskan, para menteri baru, utamanya yang masuk tim ekonomi, tak bisa berbuat banyak. Sebab, kebijakan ekonomi di kementerian terkait telah ditetapkan sebelumnya, sejalan dengan APBNP 2015.

"Akar masalahnya kan kebijakan APBNP 2015 yang salah," ucap Ichsanuddin Noorsy saat dihubungi Republika, Rabu (12/8).

Reshuffle kabinet, bila dimaksudkan untuk menggenjot perekonomian, dinilai akan jauh dari harapan. Noorsy menuturkan, sejumlah kebijakan yang salah itu akan sukar diubah lagi oleh menteri-menteri baru.

Misalnya, lanjut dia, kebijakan di sektor pangan, khususnya kebijakan terkait daging. Harga daging meroket dan pemerintah dalam waktu dekat berencana membuka keran impor sapi lebih banyak.

Demikian pula kebijakan pembangunan infrastruktur yang cenderung berpusat di Jawa. Hal ini, tegas Noorsy, berdampak pada buruknya realisasi anggaran. Kini, realisasi baru sekitar 40 persen. "Artinya, waktu yang tersisa tidak mungkin memburu yang 60 persen. Padahal, pasar sedang butuh likuiditas," kata Noorsy.

Di bidang finansial, paket kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Noorsy mencontohkan, juga tak terasa manfaatnya sama sekali. Sektor mikro keuangan terbukti stagnan. "Sektor fiskal tersendat. Sektor moneter, mikro keuangan menahan diri. Daya beli masyarakat ambruk. Sementara, orang kaya jaga-jaga penurunan kekayaan karena nilai tukar (rupiah) yang ambruk," tutur dia.

Perlemahan ekonomi nasional juga dibayang-bayangi ancaman dinamika ekonomi global. Salah satunya, bila bank sentral Amerika Serikat The Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga. Bila itu terjadi, maka nilai tukar rupiah bisa terjerembab hingga Rp 14 ribu per dolar AS.

Ketimbang menghadapi itu, Presiden malah memilih membongkar pasang jajaran pembantunya. Padahal, menurut Noorsy, reshuffle bukanlah solusi atas ancaman-ancaman yang sebegitu besar.  "Jadi (reshuffle) menteri ini enggak akan ubah apa-apa situasinya."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement