Rabu 12 Aug 2015 07:41 WIB

Ini yang Menyebabkan Turbulensi Harga Daging

Rep: Qommaria Rostanti/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pedagang daging sapi melayani pembeli dipasar Jatinegara,Jakarta,Selasa (10/3).
Foto: Republika/Prayogi
Pedagang daging sapi melayani pembeli dipasar Jatinegara,Jakarta,Selasa (10/3).

REPUBLIKA.CO.ID,‎ JAKARTA -- Harga daging sapi sebelum 10 Juli 2015 di pedagang pengecer berada di kisaran Rp 100 ribu ke bawah. Harga ini sudah berlangsung dari 2014. Pasar pun tetap merasa nyaman.

Masalah baru muncul mulai 10 juli 2015 ketika pemerintah mengumumkan adanya izin impor kuartal III yang hanya 50 ribu ekor, dimana pada kuartal II 250 ribu ekor. Ini yang menyebabkan terjadinya turbulensi di dunia perdagangan sap sehingga harganya merangkak naik.

Di feedloter (perusahaan penggemukan sapi), harga menyentuh Rp 44 ribu hingga Rp 46 ribu per kilogram sapi hidup, naik Rp 8 ribu sampai Rp 10 ribu dari harga biasanya. "Kalau di feedloter atau importir harga naik, maka di tingkat rumah pemotongan hewan (RPH) bisa menjadi Rp 20 ribu, sementara di tingkat pasar bisa naik Rp 40 ribu," kata Ketua Asosiasi Pengusaha Pemotongan Hewan, Abud Hadiyanto kepada ROL, Selasa (11/8) malam.

Artinya, daging sapi yang tadinya dijual dengan harga Rp 90 ribu hingga Rp 100 ribu per kilogram, kini melesat menjadi Rp 130 ribu hingga Rp 140 ribu.

Di tengah daya beli masyarakat yang menurun, kenaikan harga ini tentu menyulitkan pedagang daging untuk menjual dagangannya. "Pasca lebaran penurunan omzet sudah hampir 30 sampai 40 persen," ucapnya.

Hadi mengatakan sapi impor hanya ada di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Tiga provinsi ini adalah konsumen terbesar sapi impor. Hampir semua sapi impor dihabiskan di sana. Sebagian kecil sekitar 20 persen sapi impor dikirim ke Lampung, Sumatra Selatan, dan Sumatra Utara.

Di luar enam wilayah tersebut, kebanyakan menggunakan sapi lokal. "Ketika sapi impor terganggu, kami akan mencari sapi lokal, akibatnya sapi lokal menjadi kurang dan tidak akan terjaga keseimbangannya," kata Hadi. Jika tidak segera diselesaikan, maka dalam kurun waktu tertentu akan menyebabkan terjadi kekosongan atau krisis sapi nasional.

Sebenarnya sapi impor hanya menempati sekitar 20 persen dari kebutuhan sapi nasional. Pangsa pasarnya pun terbatas. Di Kalimantan dan Sulawesi semuanya menggunakan sapi lokal.

Sementara provinsi-provinsi yang menjadi lumbung sapi nasional seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara tidak cukup memiliki stok untuk memasok kebutuhan sapi nasional. "Kalau impor tidak ada, bisa dibayangkan betapa kalang kabutnya," ujar Hadi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement