REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo berharap proyek Donggi Senoro LNG (DSLNG) bisa menjadi mesin pertumbuhan. Utamanya, pertumbuhan ekonomi di kawasan Indonesia Timur.
Menurut Presiden pada peresmian Proyek Donggi Senoro LNG di Sulawesi Selatan, Senin (3/8), proyek pengembangan DSLNG merupakan proyek LNG keempat di Indonesia yang memonetisasi cadangan gas di wilayah Sulawesi sebagai bagian dari upaya membangun kedaulatan energi di sektor gas. Proyek ini hampir 30 tahun belum dikembangkan.
Menurut Presiden, pembangunan proyek LNG ini adalah yang pertama mengadopsi model pengembangan hulu dan hilir yang terpisah berdasarkan Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi Nomor 22 Tahun 2001. Dengan skema ini, pemerintah tidak menanggung cost recovery sebesar 2,8 miliar dolar AS sehingga pengembangan hulu lebih dapat dioptimalkan.
Dengan target total produksi hulu sebesar 415 juta kaki kubik per hari (MMCFD), Presiden berharap proyek DSLG ini dapat memasok kebutuhan pembangkit listrik, pabrik amonia, dan kilang LNG. Dari laporan yang diterima Juni lalu, Presiden menyatakan Pertamina telah membeli kargo pertama produksi gas kilang DSLNG.
Kargo pertama itu akan diangkut ke Terminal Regasifikasi Arun untuk memasok industri di kawasan Sumatera bagian Utara. Beroperasinya Proyek Donggi-Senoro LNG telah sejalan dengan rencana Pemerintah untuk mencapai target pembangkit listrik 35 ribu MW. Dengan naiknya tingkat rasio elektifikasi dari 81,5 persen menjadi 96,6 persen, ini akan memperkuat infrastruktur energi nasional dan pasokan gas domestik.
Presiden juga memerintahkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta PT Pertamina (Persero) untuk mengintegrasikan pengembangan proyek monetisasi gas Donggi Senoro ini, mulai dari hulu hongga hilir. Dari produsen gas, sampai dengan para pengguna, baik industri petrokimia, pembangkit listrik maupun pembeli LNG.
Dengan beroperasinya Terminal DSLNG ini Presiden berharap kebutuhan gas baik di Sulawesi maupun kawasan Indonesia Timur akan terpenuhi. Proyek ini diharapkan bisa menstimulus perekonomian daerah Sulawesi Tengah dan membuka lapangan kerja baru. Potensi pendapatan negara yang didapat akan meningkat sekitar 7,02 miliar dolar AS apabila proyek beroperasi penuh selama 13 tahun.