REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk membukukan penyaluran total kredit pada semester I-2015 mencapai Rp 503,6 triliun. Pertumbuhan kredit tercatat sebesar 9,7 persen (yoy) dibandingkan semester I-2014 senilai Rp 459,13 triliun.
Direktur Utama BRI Asmawi Syam menjelaskan, komposisi penyumbang kredit terbesar adalah kredit ritel yang mencapai 37,19 persen dari total kredit. Disusul kredit mikro 32,93 persen, kredit korporasi 26,12 persen, serta kredit menengah 3,75 persen dari total kredit.
Kredit segmen mikro tercatat tumbuh 15,0 persen (yoy) menjadi Rp 165,8 triliun, sedangkan kredit segmen ritel tumbuh 11,8 persen (yoy) menjadi Rp 187,3 triliun. Adapun kredit segmen menengah turun 2,9 persen (yoy) menjadi Rp 18,9 triliun, dan kredit korporasi naik 2,8 persen (yoy) menjadi Rp 131,5 triliun.
Kredit korporasi mayoritas disalurkan ke Badan-Badan Usaha Milik Negara (BUMN) lainnya. Kualitas kredit yang terlihat dari rasio kredit macet (non performing loan/NPL) tercatat naik dari 1,97 persen pada Juni 2014 menjadi 2,33 persen pada Juni 2015. Pertumbuhan kredit sampai akhir tahun 2015 ditargetkan di kisaran 12-13 persen.
Wakil Direktur Utama BRI Sunarso mengatakan, BRI sengaja membuang dana mahal dan fokus pada dana murah, sehingga CASA membaik. "Buat apa kita mencari dana mahal sementara di sisi kredit permintaan belum tinggi, sehingga kita tumbuhkan kredit secara hati-hati sehingga pertumbuhan kredit secara year on year 9,7 persen," jelasnya dalam paparan kinerja di gedung BRI Jakarta, Jumat (31/7).
Sunarso menyatakan optimisme pertumbuhan di semester kedua. Karena ada dua kebijakan di sektor keuangan, yakni Bank Indonesia melonggarkan LTV, dan merubah LDR menjadi LFR. Kebijakan LTV untuk mendorong kredit sektor konsumen. Sedangkan LFR artinya optimalisasi dana disalurkan dalam bentuk aset yang produktif.
Selain itu, OJK juga memberikan dua kebijakan relaksasi. Pertama pelonggaran ATMR yang dinilai positif bagi BRI. Pelonggaran ATMR, lanjutnya, artinya BRI diberikan ruang untuk ekspansi secara masif di UMKM.
Relaksasi kedua, dimudahkan restrukturisasi kredit, untuk menekan biaya provisi. Menurutnya, sektor yang masih bisa dipacu pada semester kedua adalah segmen mikro yang tidak terlalu terpengaruh kondisi makro ekonomi.
Dari sisi penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) BRI tercatat tumbuh 17,3 persen (yoy) menjadi Rp 573,1 triliun dibandingkan Rp 488,4 triliun tahun lalu. Dari total DPK tersebut, jumlah simpanan dalam bentuk current account saving account (CASA) atau dana murah seperti giro dan tabungan masih mendominasi.
Komposisi CASA mencapai 54,1 persen dari total DPK BRI, dengan pertumbuhan sebesar 10,8 persen (yoy) menjadi Rp 310,2 triliun. Sedangkan pertumbuhan deposito tercatat sebesar 26,0 persen menjadi Rp 262,9 triliun.
Tingkat likuiditas yang tercermin dari rasio kredit terhadap DPK atau loan to deposit ratio (LDR) berada di level 87,8 persen. Pertumbuhan ekuitas BRI tercatat sebesar 20,1 persen menjadi Rp 101,6 triliun dibandingkan Rp 84,5 triliun pada semester I-2014. Pertumbuhan tersebut mendorong posisi rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) menjadi 20,4 persen.