REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indeks saham Cina telah anjlok 30 persen dalam tiga pekan terakhir. Pada Rabu (8/7), indeks Shanghai turun 5,9 persen yang menyebabkan lebih dari 500 emiten di bursa tersebut menghentikan sementara transaksi perdagangan.
Ekonom dari Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan, Cina memang sudah mengalami bubble sebelumnya. Pemerintah Cina sangat melonggarkan kebijakan dan berusaha mendorong pasar modal di sana.
Sebelumnya, Cina sudah alami gelembung ekonomi di properti, kemudian beralih ke shadow banking, dan beralih lagi ke pasar modal. Sebab, banyak dana yang mengalir ke pasar modal yang banyak didanai oleh transaksi margin. Sebanyak 10 persen transaksi di Cina adalah transaksi margin.
Menurutnya, kenaikan dana tersebut dipicu oleh utang yang didorongan oleh pemerintah Cina sendiri karena ingin menopang pertumbuhan ekonomi. Diharapkan ada efek meningkatnya pasar modal untuk menopang daya beli masyarakat.
Dampak perekonomian Cina dari sisi kerterkaitan dengan pasar global kecil. Sebab, investor global yang masuk ke Cina hanya 5 miliar dolar AS. Sebagian investor yang mau investasi di Cina lewat Hongkong. Dulu, investor tidak boleh masuk ke Cina, sedangkan sekarang lebih bebas.
David menilai, gelembung ekonomi di Cina terjadi karena kenaikan harga saham setahun terakhir mencapai 70 persen. Dikhawatirkan, kondisi Cina akan menular ke negara-negara emerging yang lain.
"Yang kita khawatirkan dampak ke ekspor kita, karena ekspor komoditas, minyak kelapa sawit (CPO) dan batubara ke sana," kata David saat dihubungi Republika, Kamis (9/7).
David menyebutkan, ekspor Indonesia ke Cina mencapai 12 persen dari total 176 miliar dolar AS pada tahun 2014. Ekspor ke Cina mencapai 18-20 miliar dolar AS pada 2014. Ekspor Indonesia ke Cina didominasi oleh batubara dan CPO yang kebanyakan dimanfaatkan untuk PLTU.
Menurutnya, permintaan ekspor untuk PLTU tersebut relatif stabil saat ini. Sedangkan yang dikhawatirkan adalah ekspor CPO, mineral, dan produk-produk manufaktur lain.