REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Industri pengolahan daging Indonesia harus mewaspadai merebaknya produk daging olahan dari Malaysia. Pasalnya, hal ini dapat mengancam daya saing dan mematikan industri pengolahan daging di dalam negeri.
Ketua Asosiasi Industri Pengolahan Daging Indonesia Ishana Mahisa mengatakan, peningkatan impor daging olahan untuk produk dimulai pada 2012 yakni sebesar 175,12 ribu kilogram. Volume impor terus meningkat sampai 2014 yakni mencapai 2,42 juta kilogram. Sementara itu, untuk olahan daging lainnya juga mengalami hal yang sama. Menurut Ishana, untuk impor golongan sosis paling besar berasal dari Malaysia yakni sebesar 2 juta kilogram pada 2014 atau senilai 4,7 juta dolar AS.
"Harga sosis asal Malaysia memang lebih murah, dan dijamin halal sehingga disukai oleh konsumen," kata Ishana dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (8/7).
Ishana menjelaskan, harga rata-rata sosis asal Malaysia yakni 2,29 dolar AS per kilogram. Dengan kurs dolar AS pada 2014 dianggap Rp 13 ribu, maka harga sosis impor hanya Rp 29.770 per kilogram. Sementara harga sosis buatan Indonesia dengan kualitas sama bisa mencapai Rp 60 ribu per kilogram.
Lonjakan impor sosis terjadi pada kuartal II/2013 yakni dari rata-rata 50 ton per bulan menjadi 400 ton per bulan. Ishana menduga, salah satu pemicu melonjaknya impor sosis tersebut akibat regulasi pemerintah yakni Peraturan Menteri Pertanian No. 84 Tahun 2013 Pasal 9 yang menyebutkan bahwa produk olahan yang menggunakan bahan baku berasal dari negara belum bebas Penyakit Mulut Kuku (PMK), Vescular Stomatitis (VS), Swine Vesicular Desease (SVD) dapat dipertimbangkan di impor jika telah dipanaskan lebih dari 80 derajat celcius.
"Permentan tersebut justru mendorong para importir untuk mendatangkan produk daging olahan dari negara lain, terutama Malaysia karena harganya lebih murah," kata Ishana.