REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia dinilai masih jauh dari krisis ekonomi seperti 1998. Meski kini terjadi pelemahan rupiah, namun kondisinya berbeda dengan 1998.
"Kalau dilihat, angka sepertinya sudah dekat, dulu Rp 15 ribu sekarang kita sudah Rp 13.400. Meskipun angkanya mirip, tapi situasinya sangat berbeda," ujar Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono, di Jakarta, (2/7).
Ia menjelaskan, pada 1998, inflasi mencapai 78 persen sebab rupiah melemah, sehingga setiap orang menarik dana dari perbankan dalam bentuk tunai. Kemudian Bank Indonesia (BI) pun mencetak uang dalam jumlah besar.
Sedangkan sekarang, inflasi year on year 7,15 persen, jauh dibandingkan 1998. Suku bunga deposito pada 1998 juga mencapai 60 sampai 70 persen. Menyebabkan terjadi bunga deposito lebih tinggi dari bunga kredit yang hanya 24 persen.
"Akibatnya terjadi negatif spread, bank-bank kolaps termasuk bank-bank besar pemerintah. Sedangkan sekarang tidak ada bank kolaps," jelas Tony.
Ia menambahkan, kondisi 1998 jauh lebih buruk ketimbang 2015. Tony menyebutkan, perbandingan itu dilihat dari beberapa faktor objektif, seperti suku bunga, inflasi, serta kesehatan bank. Dari sisi politik, pada 1998 pun tak stabil, banyak orang ingin mengganti presiden. Sedangkan sekarang tak ada yang ingin mengganti presiden setidaknya sampai 2019.