Senin 22 Jun 2015 20:36 WIB

Utang Yunani Berdampak tak Langsung pada Rupiah

Rep: C91/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Masyarakat Yunani terpukul dengan krisis ekonomi yang dialami negaranya. Pengangguran meningkat, sementara daya beli menurun.
Foto: AP
Masyarakat Yunani terpukul dengan krisis ekonomi yang dialami negaranya. Pengangguran meningkat, sementara daya beli menurun.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para pemimpin negara di Eropa hari ini mengadakan pertemuan di Brussels, Jerman, untuk memabahas Yunani. Negara itu memang tengah mengalami krisis ekonomi karena tak bisa membayar utang kepada Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar 1,6 miliar euro padahal akan segera jatuh tempo.

Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listyanto mengatakan, apapun hasil dari pertemuan tersebut, pasti akan berefek ke pasar uang internasional. Tak terkecuali ke seluruh negara berkembang, termasuk Indonesia.

"Sebagai negara berkembang atau emerging market, pasti akan terkena dampak, baik hasilnya positif atau negatif," ujar Eko kepada Republika, Senin, (22/6). Ia menambahkan, bila hasilnya negatif berarti tak ada kesepakatan, sehingga krisis Yunani bakal bertambah parah.

Hanya saja Eko memprediksi hasilnya akan positif, dan memungkinkan adanya perpanjangan waktu pembayaran utang. Ia menjelaskan, dampak ke rupiah sebenarnya tak langsung, sebab hubungan dagang antara Indonesia dan Yunani tak besar bahkan mungkin tak ada.

"Hubungan dengan Yunani lebih banyak di pariwisatanya, ya kalau dikaitkan dengan rupiah. Bisa saja rupiah melemah kalau perkembangannya tak positif karena Indonesia cenderung mengandalkan dana dari luar negeri," jelas Eko.

Dirinya mengungkapkan selain ke Indonesia, efeknya pun menjalar ke semua emerging market. Maka yang dilihat adalah fundamental setiap negara.

Eko tak memungkiri jika sekarang posisi Indonesia agak membaik dengan surplus di neraca perdagangan. Sayangnya secara volume, perdagangan Indonesia justru menurun setiap tahun. Tak hanya itu, utang swasta pun naik, serta pertumbuhan ekonomi lambat, sehingga fundamental Indonesia lemah.

"Akibatnya bagi negara berkembang yang fundamentalnya lemah, akan terkena dampak depresiasi yang lebih besar," tegasnya. Eko menyebutkan, beberapa negara yang fundamentalnya agak menguat seperti India, Thailand, dan Filipina memiliki tingkat cadangan devisa lebih besar, sert tingkat inflasinya pun lebih rendah, sehingga walau sama-sama melemah tapi dapat lebih terkendali.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement