Rabu 17 Jun 2015 06:55 WIB

Perubahan Kontrak Freeport Dinilai Salahi Aturan

Rep: C85/ Red: Citra Listya Rini
Sebuah mobil melintas di kawasan Grasberg Mine milik PT. Freeport Indonesia (PTFI ) di Tembagapura, Mimika, Timika, Papua, Minggu (15/2).
Foto: Antara/M Agung Rajasa
Sebuah mobil melintas di kawasan Grasberg Mine milik PT. Freeport Indonesia (PTFI ) di Tembagapura, Mimika, Timika, Papua, Minggu (15/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perubahan bentuk Kontrak Karya (KK) PT Freeport Indonesia menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dinilai menyalahi aturan tentang pertambangan.

Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) menyatakan pemerintah melanggar aturan tentang pertambangan apabila memberi langsung status Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada PT Freeport Indonesia.

Ketua Working Grup Kebijakan Pertambangan Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi)  Budi Santoso menjelaskan, ada tahapan yang harus dipenuhi pemerintah dalam menawarkan status IUPK bagi pelaku tambang. Budi menyebut hal tersebut diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Dalam kedua aturan tersebut, lanjutnya, IUPK diberikan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Badan usaha swasta.

"Pemerintah seharusnya menawarkan dulu kepada BUMN. Apabila BUMN tidak mau maka ditawarkan kepada BUMD. Jika BUMD pun tidak ada yang mau, maka ditawarkan kepada badan usaha swasta. Enggak bisa langsung diserahkan ke pihak swasta dalam hal ini Freeport," kata Budi, Selasa (16/6).

Budi menambahkan bahwa status IUPK itu hanya memberi kesempatan 10 tahun untuk beroperasi dan bisa diperpanjang untuk 10 tahun berikutnya. Apabila Freeport mendapat status IUPK pada tahun ini maka masa berlaku hingga 2025.

"Kalau diperpanjang dengan IUPK tidak boleh langsung 20 tahun. Hanya 10 tahun dan diperpanjang lagi 10 tahun," ujarnya.

Selain itu, Budi juga mengingatkan kepada pemerintah agar tidak mengulangi kesalahan pemimpin sebelumnya dalam memberi hak pengelolaan kepada Freeport di Papua. Budi menyebutkan Freeport mendapat kontrak karya di 1967 selama 30 tahun alias berakhir di 1997.

Pemerintah kala itu memperpanjang kontrak Freeport di 1991 yang berlaku selama 20 tahun atau hingga 2021. Jika pemerintah memang memberikan kesempatan bagi Freeport lagi, maka harus memberi penjelasan kepada publik.

"Jadi sebelum diberikan ke freeport pemerintah harus menyatakan tidak mampu dulu secara terbuka karena itu syarat bolehnya dikeluarkan IUPK," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement