Senin 15 Jun 2015 16:44 WIB

Batik Tulis Mulai Tergusur Batik Printing dari Cina

Rep: Heri Purwata/ Red: Ilham
Dua orang pekerja melakukan proses pewarnaan batik tulis di Rumah Batik Jember, Jawa Timur, Kamis (25/11). Dalam sehari setiap pekerja mendapat upah mulai Rp.10.000 - Rp.45.000 tergantung dari motif dan tingkat kesulitan pengerjaan batik.
Foto: ANTARA
Dua orang pekerja melakukan proses pewarnaan batik tulis di Rumah Batik Jember, Jawa Timur, Kamis (25/11). Dalam sehari setiap pekerja mendapat upah mulai Rp.10.000 - Rp.45.000 tergantung dari motif dan tingkat kesulitan pengerjaan batik.

REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL -- Batik tulis produksi masyarakat Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) semakin tergusur batik printing Cina. Akibatnya, perajin batik tulis Bantul banyak yang menganggur.

"Dahsyat sekali dampaknya batik printing dari Cina masuk ke Indonesia. Jika tidak ada kebijakan signifikan dari pemerintah maka perajin batik akan kolap satu persatu," kata Sukarman (37) pemilik Galeri Sidji Batik di Dusun Bergan, Desa Wijirejo, Kecamatan Pandak Kabupaten Bantul, DIY, Senin (15/6).

Menurut Sukarman, Dusun Bergan, Desa Wijirejo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul, DIY penduduknya hampir 80 persen merupakan perajin batik tulis. Permintaan batik tulis dalam negeri tidak seramai tujuh tahun lalu.

Dijelaskan Sukarman, masyarakat Indonesia saat ini lebih suka menggunakan batik printing atau batik cap, karena harga relatif murah. Satu potong kain batik printing yang sudah jadi satu baju harga di bawah Rp 100 ribu. Sedang satu potong batik tulis minimal harganya Rp 400 ribu dan kualitas premium harganya mencapai di atas Rp 1 juta.

"Harga satu potong kain batik tulis yang mahal ini membuat pasar batik tulis sangat terbatas dan hanya dijangkau oleh orang yang berduit tebal," kata Sukarman.

Menurut Sukarman, usaha batik tulis yang digelutinya sejak tahun 1990-an mengalami booming di tahun 2010. Saat itu, ia menerima pesanan atau order mencapai 400 potong batik tulis per-bulannya. Pasaran batik tulis produksinya untuk memenuhi pasar luar negeri.

"Untuk pemesanan batik tulis dari dalam negeri masih terbatas kota-kota besar seperti Jakarta. Untuk Bali batik tulis kurang laku karena harganya yang mahal. Padahal biasanya wisatawan membeli baju batik hanya untuk oleh-oleh," katanya.

Di Dusun Bergan ini, meski hampir 80 persen penduduknya perajin batik, namun yang memiliki galeri batik tulis hanya delapan orang dan pangsa pasarnya berbeda-beda tergantung pesanan.

"Kalau saya dalam waktu dekat ini mendapatkan pesanan 1.000 meter kain batik tulis dari PT. Avrist Assurance (Avrist), salah satu peruhasaan asuransi yang pusatnya di Jakarta untuk seragam karyawannya. Selain itu Avrist juga memesan batik tulis untuk hadiah dengan kelas batik premium dengan harga perpotong sebesar Rp 900 ribu," tuturnya.

Sukarman mengatakan, saat ini batik tulis tidak saja bercorak dan warna tradisional, namun telah mengadopsi warna-warna yang cerah. Karenanya, baju batik tidak saja digunakan dalam acara khusus, namun dalam kegiatan berbelanja, berwisata, bahkan bisa cocok untuk dugem. "Kalau kita tidak melakukan inovasi maka kita yang akan tertinggal dan terpuruk," jelasnya.

President Director Avrist Assurance, Perry M Dialah mengatakan, pihaknya sengaja membuat seragam untuk 40 karyawannya dengan batik tulis bertepatan dengan 40 tahun Avrist terjun dibidang asuransi. "Harapan kita selain melestarikan budaya batik juga mendongkrak penjualan batik tulis yang kini tergusur oleh batik printing produk Cina," kata Perry.

Tak hanya memesan batik tulis untuk seragam karyawan dan hadiah, PT Avrist Assurance, kata Perry, juga memberikan bantuan seperangkat alat untuk membatik kepada perajin batik di Dusun Bergan ini. "Saya berharap kegiatan seperti ini membawa dampak positif bagi perajin batik di Dusun Bergan dan mereka terus berinovasi dan berkreasi dalam mengembangkan produksi batik tulisnya," harapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement