Jumat 12 Jun 2015 06:45 WIB

Guru Besar UI Ingatkan Jokowi Hati-hati Perpanjang Kontrak Freeport

Rep: C85/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pekerja memeriksa proses pengolahan biji tambang PT Freeport Indonesia, Tembagapura, Mimika, Timika, Papua, Sabtu (14/2).
Foto: Antara/M Agung Rajasa
Pekerja memeriksa proses pengolahan biji tambang PT Freeport Indonesia, Tembagapura, Mimika, Timika, Papua, Sabtu (14/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengingatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk bersikap bijak terkait dengan berubahnya status PT Freeport Indonesia (Freeport) dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

“Meski disampaikan keunggulan dari perubahan status KK ke IUPK namun Presiden harus mewaspadai tiga hal,” kata Hikmahanto dalam keterangan tertulisnya, Kamis (11/6).

Pertama, Hikmahanto mempertanyakan, apakah perubahan status ini merupakan penyelundupan hukum yang dilakukan oleh Freeport agar memperoleh perpanjangan lebih awal? Kontrak Freeport sendiri akan berakhir pada 2021, dan sesuai ketentuan yang ada, kontrak baru dapat diperpanjang 2 tahun sebelum berakhir.

“Padahal 2 tahun sebelum berakhirnya KK berarti saat Presiden Jokowi akan mengakhiri masa jabatannya. Dalam situasi seperti itu Presiden tidak layak mengambil keputusan yang strategis,” ujar Hikmahanto.

Dia menjelaskan, bila dilakukan perubahan status maka IUPK berdasarkan Pasal 83 huruf (g) akan memberi Freeport operasional 20 tahun lagi. Artinya Freeport dapat beroperasi di Indonesia hingga 2035 bila dihitung sejak tahun 2015. Lebih lama 14 tahun dari jatuh tempo KK di tahun 2021.

Kedua, lanjut Hikmahanto, perubahan status ke IUPK juga akan memberi hak kepada Freeport untuk dapat memperpanjang dua kali untuk jangka waktu masing-masing 10 tahun. Dia menuturkan, bila hak ini dijalankan, maka Freeport akan bisa beroperasi di Indonesia hingga 2055.

“Bila benar perhitungan tersebut maka ini menjadi hal kedua yang harus diperhatikan oleh Presiden,” kata dia.

Ketiga, sebut Hikmahanto, bila dugaan penyelundupan hukum benar terjadi,  maka paska-pemerintahan Jokowi berakhir, aparat penegak hukum bukan tidak mungkin akan melakukan penyelidikan dan penyidikan terkait perubahan status KK.

“Mereka yang diperiksa mulai dari birokrat terendah yang mengusulkan hingga sampai ke Menteri, bahkan Presiden. Ini yang membuat para pejabat tidak dapat tenang diakhir masa jabatannya,” jelas Hikmahanto.

Menurut dia, penyelundupan hukum oleh aparat penegak hukum akan dicurigai adanya perilaku koruptif meski dari pengambil kebijakan tidak memiliki niat jahat untuk memperkaya diri sendiri.

Kendati begitu, dia juga mengatakan, proses perubahan status KK ke IUPK besar kemungkinan tidak bermasalah bila tidak ada penyelundupan hukum dan dilakukan secara transparan. “Bahkan Presiden mendapat persetujuan dari DPR,” lanjut Hikmahanto.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement