REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai, stabilitas terhadap harga-harga kebutuhan pokok harus dilakukan pemerintah melalui stok penyangga. Sebab, menjaga stabilitas harga tidak mungkin efektif hanya melalui imbauan maupun sekadar perpres.
Menurutnya, untuk bisa menstabilkan harga harus ada langkah konkret. Menjamin ketersediaan pasokan juga tidak cukup kalau penguasaan pasokan di tangan swasta. Jika semuanya di swasta, jelas akan mendominasi pasokan dan harga.
"Untuk efektifnya pengendalian harga kebutuhan pokok pemerintah harus mempunyai stok penyangga untuk komoditas-komoditas pokok. Ketika pemerintah punya stok penyangga maka tidak memberikan peluang terhadap para mafia ekonomi untuk mengeruk keuntungan sebesar2nya menentukan harga pasar sebesar-besarnya," jelas Enny kepada wartawan di Jakarta, Rabu (10/6).
Enny menambahkan, salah satu pemicu rupiah mengalami tekanan lagi di awal Juni adalah impor yang meningkat. Momentum Ramadan yang masuk bulan Juni dan lebaran pada Juli biasanya akan meningkatkan konsumsi masyarakat. Sehingga harus ada peningkatan pasokan. Namun, untuk meningkatkan pasokan bahan baku harus impor.
"Itu yang menyebabkan impor meningkat sehingga permintaan terhadap dolar meningkat. Itulah yang memberikan tekanan terhadap nilai tukar rupiah," ujarnya.
Tekanan kedua, lanjut Enny, berasal dari bunga dan cicilan utang yang jatuh tempo di pertengahan Juni. Setiap pertengahan tahun dan akhir tahun terjadi tekanan terhadap beban bunga dan cicilan, yang juga menyebabkan permintaan dolar meningkat. Tekanan ketiga dari laju inflasi.
"Sekalipun pemerintah bilang stoknya cukup, tapi sampai hari ini hampir semua kebutuhan pokok harganya merangkak naik terus. Ini yang menumbuhkan kekhawatiran dari para pelaku usaha dan pelaku bisnis sehingga diterjemahkan menjadi ketidakpercayaan termasuk terhadap rupiah," imbuhnya.
Meski demikian, dia menilai pelemahan rupiah kurang berkaitan dengan aliran modal masuk (capital inflow) atau aliran modal keluar (capital outflow). Sebab, aliran modal yang masuk sangat tergantung pada persepsi bagaimana ekonomi Indonesia ke depan.
Menguntungkan tidak investor berinvestasi di Indonesia dalam bentuk portofolio atau investasi langsung (FDI). Terlebih, yang dijadikan indikator FDI bukan hanya keuntungan hari ini tapi juga bagamana prospek ekonomi ke depan termasuk kemudahan dalam berinvestasi di Indonesia.
Namun, untuk portofolio juga tergantung faktor eksernal karena aliran modal yang masuk ke Indonesia berasal dari AS. Begitu ada perubahan normalisasi kebijakan di AS akan memaksa investor pulang kampung. "Apapun yang kita lakukan tentu tidak akan efektif, kalau itu yang terjadi," kata Enny.