REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi VII DPR, Kurtubi menilai sistem tata kelola minyak dan gas (Migas) saat ini tidak efisien. Hal itu justru menghambat kinerja industri migas di Indonesia.
"Sistem sekarang menciptakan kinerja yang tidak efisien. Misalnya, jumlah karyawan SKK Migas sekarang sekitar 15 kali lebih banyak dari BKKA Pertamina," katanya di Jakarta, Sabtu (6/6).
Menurutnya, ketika Badan Koordinasi Kontraktor Asing (BKKA) masih beroperasi hanya diisi oleh 60 orang dan mampu mengelola dan mengawasi industri migas nasional.
Namun ia mengatakan, setelah berganti menjadi SKK Migas justru mengalami penurunan kinerja. Ia menilai hal tersebut sangat kontradiktif.
Dengan jumlah karyawan yang meningkat, seharusnya sejalan dengan peningkatan kinerja. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya.
Selain itu, investasi migas dengan merujuk pada sistem tata kelola migas juga dinilai sangat berbelit-belit dan sulit sehingga menghambat eksplorasi migas di Indonesia.
"Sistem sekarang sangat ribet, berbelit-belit, dan kacau. Pengeboran dan eksplorasi anjlok, tidak ada penemuan baru, produksi minyaknya juga turun," kata anggota DPR RI dari Fraksi Partai NasDem itu.
Terkait dengan peran investor asing dalam industri migas, dia berpendapat bahwa Indonesia masih membutuhkan mereka dengan tujuan berbagi risiko.
"Kita tidak antiasing, kita tetap butuh mereka untuk berbagi risiko. Pasalnya, kalau kita gunakan uang negara untuk cari minyak, ada risiko. Iya, kalau ketemu (minyak), kalau tidak ketemu, kita rugi," jelasnya.