REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berencana akan memberikan kelonggaran terkait kebijakan larangan bongkar muat atau transhipment di tengah laut. Kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) nomor 57 tahun 2014 ini berjalan sejak November tahun lalu hingga kini.
Pelaksana Harian Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Narmoko Prasmaji mengatakan, kelonggaran tersebut termasuk memperbolehkan kembali kapal angkut atau supporting vessel beroperasi, untuk mendukung percepatan pendaratan ikan dari kapal penangkap ke pelabuhan, agar kualitas ikan yang ditangkap tetap terjaga.
"Supporting Vessel ini alat bantu mendaratkan lebih cepat ikanya, supaya mutu tidak berkurang," kata Narmoko di kantornya, Kamis (4/6).
Namun, untuk memberi kelonggaran tersebut KKP tetap akan memberikan persyaratan. Syarat yang harus ditempuh kapal angkut tersebut, lanjut Narmoko, diantaranya adalah setiap kapal angkut harus dilengkapi dengan observer serta kapal tidak boleh dibuat di luar negeri.
Selain itu, kapal angkut harus mendaratkan ikan di pelabuhan yang sudah ditentukan dan memasang alat monitoring kamera (Vessel Monitoring System), serta CCTV.
"Ada beberapa syarat, VMS harus dipasang. Mereka mau katanya pakai CCTV pakai visual," katanya.
Ia menambahkan, syarat lain dari kelonggaran tersebut adalah bobot ikan yang diangkut maksimal 30 persen per kapal dari bobot ikan secara total yang ditangkap.
"Nanti kita harus pastikan bahwa kapal kapal itu, kapal yang bersyarat benar, berukuran benar, dan kepemilikan benar. Dan kapasitas yang kita perbolehkan adalah 30 persen dari yang mereka punya," ujar Narmoko.
Sementara ini, pihak KKP belum menentukan bentuk aturan untuk mendasari kelonggaran moratorium yang tertuang dalam Peraturan Menteri Nomor 57 Tahun 2014 tersebut. Narmoko menyatakan, pihaknya akan menunggu instruksi dari Menteri Susi, mengenai hal ini.
"Bisa dalam bentuk surat edaran atau Keputusan Menteri," lanjut Narmoko.
Sebelumnya, pengusaha perikanan tangkap nasional mulai vokal menyuarakan keluhan mereka atas kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti tentang larangan alih muatan atau transhipment di tengah laut. Sekretaris Jenderal DPP Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) Dwi Agus Siswa Putra mengungkapkan, kebijakan ini perlahan dirasakan menyusahkan operasional penangkapan ikan.